Kamis, 31 Maret 2011

Epistemik Politik dan Pelembagaan Local Good Governance

Oleh : Purwo Santoso

Reformasi politik di tingkat lokal adalah imbas dari reformasi politik di tingkat nasional. Sistem politik yang sentralistik dikambinghitamkan sebagai biang keladi terjadinya krisis politik dan ekonomi yang terjadi, yang ditandai dengan olengnya kekuasaan presiden Suharto di pertengahan tahun 1990-an. Turunnya Presiden Suharto dari tampuk kepresidenan di republik ini menandai bermulanya proses reformasi politik. Agenda utama dalam reformasi tersebut adalah desentralisasi dan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Kondisi ideal yang ingin dicapai oleh kedua alur reformasi tersebut adalah terlembaganya suatu good governance di semua tingkatan pemerintahan, yang berpilarkan prinsip demokrasi dan otonomi.
Makalah ini berusaha untuk mencermati proses reformasi ke arah tersebut dari segi realisasi ide. Asumsinya adalah bahwa reformasi ke arah itu justru harus dilakukan dengan mengacu-pada nilai-nilai otonomi dan demokrasi itu sendiri. Jelasnya, demokratisasi mesti berlangsung secara demokratis, dan pengembangan otonomi daerah harus berpijak pada pemaknaan otonomi itu sediri secara tepat. Konsep 'politik' dalam makalah ini digunakan dalam konteks perjuangan antar berbagai ide dan realisasinya dalam berbagai konteks, tanpa harus terjebak pada keterlibatan aktor-aktor yang selama ini memakai atribut politik seperti partai politik atau lembaga perwakilan rakyat.
Ketika kita memaknai politik tidak hanya terbatas pada peran aktor-aktor tersebut, maka segera terlihat bahwa ada kumunitas kecil yang sebetulnya memegang peran kunci dalam menentukan nasib publik, namun mereka selama ini diasumsikan bersifat atau berperan secara a-politis. Komunitas kecil ini, dalam studi kebijakan, disebut sebagai epistemic community (komunitas epistemik).1 Istilah politik epistemik dalam makalah ini merujuk pada kiprah politik komunitas ini dalam menyediakan ide-ide perubahan, khususnya seputar pemaknaan dan penjabaran reformasi ke arah terlembaganya good governance.
Berhubung issue yang dibahas dalam makalah ini senantiasa melibatkan konsep-konsep, maka makalah ini tidak sepenuhnya bersifat empirik. Sungguhpun demikian, penyajiannya diupayakan se-empirik mungkin. Ilustrasi-ilustrai yang yang dirujuk di sana sini sepanjang pembahasan makalah ini kebanyakan diambil dari hasil sementara dari penelitian yang dilakukan di Wonogiri, Jawa Tengah. Ketika presentasi makalah ini dilakukan, penelitian ini belum selesai.

Good Governance Sebagai Agenda Reformasi.

Semangat reformasi politik yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1997 adalah pembalikan karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama beberapa dekade. Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan ingin dibalik menjadi tatanan yang desentralistik, dan otoritarianisme ingin dibalik menjadi tatanan pemerintahan yang demokratis. Regime kesemena-menaan penguasa ingin diganti dengan regime pemihakan terhadap rakyat. Meskipun kenginan untuk melakukan perubahan ke arah tersebut telah meluas, perubahan itu sendiri tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Perubahan tersebut hanya bisa difahami sebagai hasil tarik ulur antara para pelaku politik utama. Hal ini sangat jelas terlihat kalau kita fahami proses reformasi dari kerangka berfikir transisi menuju demokrasi.
Reformasi ini tidak bisa diprogram secara teknokratik oleh pemerintah. Persoalannya, dalam banyak hal, justru ada pada pemerintah itu sendiri. Terlepas dari persoalan seberapa mendalam perubahan telah terjadi, yang jelas, begitu kata Satjipto Rahardjo, panoramanya sudah berubah. Pada tataran formal berubahan sudah mulai merebak, namun pada tataran substantif perubahan masih belum signifikan. Adanya persoalan tarik ulur ini menjelaskan mengapa yang terjadi adalah reformasi setengah hati.
Masyarakat menaruh harapan besar terhadap reformasi politik di tingkat lokal. Tantangan untuk mewujudkan sangatlah berat karena dua aras perubahan ingin direngkuh dalam "sekali dayung". Desentralisasi sedikit banyak menghasilkan keterkejutan pemerintah daerah mengingat selama ini tidak pernah merasakan bagaimana memiliki otonomi. Keterkejutan ini akan diperparah oleh tuntutan agar kekuasaan luas yang baru diterimanya tidak menghidupkan otoritarianisme di tingkat lokal.
Dambaan bagi terlembaganya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik (local good governanve) mengedepan bersamaan dengan melimpahnya caci-maki penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter yang dipraktekkan semasa kepemimpinan Presiden Suharto. Ukuran yang populer saat ini untuk melihat baik tidaknya penyelenggaraan pemerintahan dirumuskan berdasarkan idealitas 'otonomi' dan 'demokrasi'. Makalah ini akan juga menggunakan kerangka pemikiran yang populer ini, namun perlu untuk mendudukkan bahwa pada masa kejayaan pemerintahan Suharto, pola penyelenggaraan pemerintahan yang dilembagakan saat itu, adalah pola yang dianggap terbaik.
Jargon good governance memang baru belakangan ini memperoleh popularitas, namun bukan berarti bahwa Presiden Suharto tidak memiliki konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Persoalannya, adalah apa yang waktu itu difahami sebagai good governanve kini sudang dianggap sebagai pola yang usang. Singkat kata, reformasi politik di tingkat lokal melibatkan proses penting yang tidak mudah dilihat, yakni melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep tentang penyelenggaraan pemerintahan. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu di catat.
Pertama, konsep penyelenggaraan pemerintahan sudah bersifat build in pada benak dan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pemerintahan. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa konsep-konsep yang ada bisa dijalankan dengan baik. Problema penyelenggaraan pemerintahan di masa Orde Baru, pada dasarnya bukan semata berakar pada kualitas konsepnya semata, melainkan juga pada ketidakmampuan merealisasikan konsep-konsep tersebut.
Kedua, sementara makna good governanve versi lama sudah jauh kehilangan popularitas, pemaknaan konsep good governance dalam versi baru masih simpang siur. Bias pemaknaan konsep good governance ini menjadi sulit dielakkan manakala konsep 'good governance' itu sendiri sebetulnya, secara praktis, diperankan sebagai stigma untuk mende-legitimasikan sentralisme dan otoritarianisme yang terlembaga pada era Orde Baru. Peran stigmatik konsep good governance sebetulnya tidak bisa dipisahkan dari sangat derasnya arus perwacanaan dalam kerangka berfikir yang neo-liberal, yang pada dasarnya tigak terlampau setuju dengan adanya peran sentral negara.
Ketiga, pemaknaan konsep good governance saat ini terjadi dalam suasana dimana hegemoni wacana yang berakar pada liberalisme terlihat sangat kental. Liberalisme difahami sebagai pintu pendobrak otoritarianisme, namun masih menjadi pertanyaan besar apakah hal itu akan terlembaga. Dalam suasana dimana hegemoni faham liberal di era reformasi ini sangat kuat, ukuran bagi baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan bisa bergeser dari otonomi dan demokrasi, menjadi liberal atau tidak. Pola good governanve a la liberal mungkin bisa terlembaga kalau masyarakat dan pejabat sama-sama sepenuh hati meliberalkan diri. Kecenderungan yang terjadi adalah sabotasi terhadap liberalisme dalam arti bahwa masyarakat mau enaknya memiliki kebebasan, namun tidak mau menanggung persyarakat-persyaratan untuk tegaknya sistem yang liberal itu. Sebagai contoh, maraknya demostrasi adalah pertanda dari pemanfaatan secara baik iklim politik liberal, namun penghargaan terhadap hak orang lain tidak dilindungi tatkala melakukan hal itu.
Reformasi, dalam dirinya mensiratkan arti penting ide-ide baru. Kalau point-point tersebut di atas dicermati, penentuan arah reformasi penyelenggaraan pemerintahan melibatkan suatu proses pertarungan ide. Pertarungan itu terjadi melalui berbagai bentuk pembingkaian alur wacana. Dalam konteks inilah makalah ini berbicara tentang politik epistemik. Persoalannya, bukan hanya apa dan siapa yang mengutarakan ide-ide, tetapi juga bagaimana ide-ide tersebut diperankan dalam proses reformasi. Aktor yang terlibat dalam politik ide ini memang tidak terbatas pada organ-organ yang secara sempit didefinisikan lembaga-lembaga politik (seperti partai-partai politik, DPR dan kepala daerah) namun juga organ-organ yang semala ini "berkelit" untuk diidentifikasi sebagai aktor politik, seperti yakni universitas, pusat-pusat pengkajian, assosiasi keilmuan dan sebagainya.
Dari regime ke regime, universitas dan berbagai organ epistemik lainnya memiliki peranan besar dalam pembingkaian makna konsep-konsep yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kerangka ini, universitas berikut para ahli yang ada di dalamnya, di satu sisi memperlihatkan kepedulian terhadap lingkungannya, di sisi lain, berpeluang untuk menggiring terjadinya bias bagi penyelenggaraan pemerintahan. Contoh yang menarik adalah pemaknaan konsep otonomi. Dalam tradisi keilmuan administrasi negara, otonomi daerah dimaknai sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dari cara pandang administratif ini, "pemilik" otonomi adalah pemerintah daerah. Otonomi daerah, dengan demikian, tidak ada sangkut pautnya dengan kemandirian masyarakat. Sekiranya konsep yang bias admimistratif yang dikembangkan oleh universitas ini ternyata justru menghambat pelembagaan otonomi daerah, tentunya universitas harus dimintai pertanggung jawaban. Disini kita temukan suatu ironi. Dari kerangkan berfikir institusionalistik universitas dan lembaga sejenis memiliki peran besar dalam mendisain atau membubarkan suatu konsep, namun lembaga-lembaga ini terbebas dari akuntabilitas. Dengan berlindung di balik label 'ilmiah' atau 'temuan obyektif' mereka bisa melakukan dua hal. Pertama, secara leluasa untuk mengusulkan dan merancang disain-disain perubahan. Kedua, terbebas dari pertanggung jawaban politis terhadap implikasi dari perubahan yang dirancangnya.
Kasus: pemaknaan 'kemandirian'. Dalam rangka mengkaji peranan teknokrasi dalam formula pengembangan otonomi daerah, penulis melakukan serangkaian wawancara dengan para aktor politik lokal di Wonogiri. Hasil wawancara dengan Bupati bisa dijadikan sebagai ilustrasi bagaimana bias keilmuan para pejabat, memiliki implikasi praktis dalam pelembagaan pola penyelenggaraan pemerintahan.
Keterlibatan Bupati sebagai peserta program Magister Administrasi Publik di UGM, memberikan jaminan bahwa beliau kenal betul dengan berbagai konsep yang terkait dengan pola penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini, internalisasi teori-teori administrasi negara dengan mudah ditunjukkan. Point yang ingin ditunjukkan dalam ilustrasi ini adalah adanya reproduksi bias pemaknaan otonomi daerah sebagai akibat dari internalisasi teori administrasi negara tentang otonomi. Posisi Bupati sengaja dipilih untuk menggarisbawahi bahwa ketika reproduksi bias ini terjadi dalam proses birokrasi yang bersifat hierarkhis dan struktural, maka bias yang dihasilkan juga bersifat struktural.
Bias tersebut terlihat dari "kepatuhan" terhadap kerangka berfikir administratif bahwa otonomi daerah adalah persoalan otonomi pemerintah daerah, dan tidak ada sangkut pautnya dengan otonomi masyarakat. Hal ini terlihat dari cara Bupati memaknai konsep pemberdayaan. Mnurut Bupati pemberdayaan ini maknanya tidak lain adalah peningkatan pendapatan masyarakat. Konsep yang sangat sarat dengan nuansa politis ini ternyata direduksi sedemikian jauh. Konsep 'pemberdayaan masyarakat' pada gilirannya berperan sebagai cara baru untuk memaknai arti penting peningkatan pendapatan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya, keberanian masyarakat untuk berdemonstrasi difahami oleh sang Bupati sebagai tambahan kerumitan masalah, sebagaimana difahami oleh para penguasa Orde Baru. Perbedaannya, kalau di masa lalu toleransi terhadap hal itu sangat sempit, kini toleransinya sangat lebar. Sekali lagi, jargon-jargon baru ternyata berperan sebagai cara baru untuk menggambarkan idealitas lama. Keberanian masyarakat untuk menuntut hak-haknya, atau mengekspresikan kekecewaannya, tidak difahami sebagai ungkapan otonomi masyarakat yang pada gilirannya merupakan elemen penting untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Politik Epistemik

Sehubungan dengan sentralitas pemaknaan kata-kata kunci yang terkait dengan pelembagaan good governance, makalah ini berusaha untuk menyorotinya dari segi keterlibatan para ahli. Mereka, selama era Orde Baru, telah memerankan diri sebagai tulang punggung bagi sentralisasikekuasaan dan pelembagaan otoritarianisme. Di era desentralisasi dan pengembangan demokrasi di tingkat lokal sekarang ini, terlihat betul kehausan pemerintah lokal akan peran tanaga ahli tersebut. Menyusul digulirkannya kebijakan otonomi daerah, segeralah mengedepan berbagai bentuk permintaan agar kalangan universitas, dan berbagai simpul pengembangan ilmu pengetahuan lainnya, memfasilitasi aktualisasikan otonomi daerah.
Keterlibatan universitas dan berbagai lembaga pengembangan keilmuan lainnya dalam memfasilitasi proses aktualisasi otonomi dan demokratisasi, meskipun dilakukan sekedar untuk merespon tuntutan-tuntutan yang berkembang, pada dasarnya adalah keterlibatan politis. Universitas, dalam kaitan ini, diharapkan berperan sebagai sendi reformasi. Karena basis kiprah politiknya adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka nuansanya adalah politik epistemik.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Disampaikan dalam Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, tantangan dan Harapan, diselenggarakan oleh Yayasan Percik di Yogyakarta, 3-7 Juli 2000.
Dalam penyiapan makalah ini, Mada Sukmajati sangat membantu. Untuk itu disampaikan terima kasih. Tanggung jawab tentang isi makalah ini, tentu saja ada pada penulis.
+ Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
1 Konsep epistemis community mula-mula dipakai dalam kajian hubungan internasional, merujuk pada sebuah komunitas yang berisikan figur-figur yang memiliki basis keilmuan tinggi dan terlibat dalam policy-making dengan basis tersebut. Mereka tidak secara eksplisit duduk dalam struktur formal lembaga pengambil kebijakan, namun peran mereka dalam menentukan substansi kebijakan, sangat tinggi. Lihal ..... .... ...... ........ ........ ....... ......
2 Potter, David; 1997, "Explaining Democratization", dalam Potter, David, David Goldblatt, Margaret Kiloh dan Paul Lewis (eds.), Democratization, Polity Press in association with The Open University, Cambridge. Lihat juga, Huntington, Samuel P.; 1991-1992, "How Countries Democratize", Political Science Quarterly, Vol. 106, No. 4.
3 Rahardjo, Satjipto; 1999, "Panorama Sudah Berubah", dalam Parera, Frans dan T. Jakob Koekerits, Demokrasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa, Penerbit Kompas, Jakarta.
4 Haris, Syamsuddin; 1999, Reformasi Setengah Hati, Penerbit Erlangga, Jakarta
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
BAPPENAS; 2000, Bahan diskusi Seminar Program Pembangunan Nasional (POPENAS), Yogyakarta, 25 April 2000.
Chandhoke, Neera; 1995, State and Civil Society: Exploration in Political Theory, Sage, London.
Chekoway, Barry; "Paul Davidoff and Advovacy Planning in Retrospect", Journal of American Planning Association, vol. 60, no 2.
Dunsire, Andrew; 1993, "Modes of Governance", dalam Kooiman, Jan (ed.), Modern Governance: New Government-Society Interactions, Sage, London.
Fischer, Frank; 1990, Technocracy and the Politics of Expoertise, Sage Publication, Newbury Park.
Hadad, Ismid; 1984, "Yang Ahli dan Yang Berkuasa", dalam Prisma 3, Maret 1984.
Hall, John A (ed.); 1995. Civil Society: Theory, History, Comparison, Polity Press, Cambrdige.
Haris, Syamsuddin; 1999, Reformasi Setengah Hati, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Huntington, Samuel P.; 1991-1992, "How Countries Democratize", Political Science Quarterly, Vol. 106, No. 4.
Kleden, Ignas; 1984, "Model Rasionalitas Teknokrasi", dalam Prisma 3, Maret 1984.
Milne, R.S.; 1984, "Teknokrat dan Politik di Negara-negara Asia Tenggara", dalam Prisma 3, Maret 1984.
Mulgan, Geoff; 1994, Politics in an Antipolitical Age, Polity Press, Cambridge.
Potter, David; 1997, "Explaining Democratization", dalam Potter, David, David Goldblatt, Margaret Kiloh dan Paul Lewis (eds.), Democratization, Polity Press in association with The Open University, Cambridge.
Rahardjo, Dawam; 1984, "Teknokrasi: Dari Gerakan Sosial ke Dominasi Tekno-Ekonomi", Prisma 3, Maret 1984.
Rahardjo, Satjipto; 1999, "Panorama Sudah Berubah", dalam Parera, Frans dan T. Jakob Koekerits, Demokrasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa, Penerbit Kompas, Jakarta.
Rhodes, R.A.W; 1996, "The New Governance: Governing without Government", Political Studies, vol. 44, No. 4, September 1996.
Santoso, Purwo; 1999, The Politics of Environmental Policy-making in Indonesia: Study of State Capacity, 1967-1994, Ph.D thesis, London School of Economics and Political Science.
Saward, Michael; 1998, The Terms of Democracy, Polity Press, Cambridge.
Self, Peter, 1993, Government by the Market: The Politics of Public Choice, MacMillan, London.
Simanjuntak, Marsillam; 1994, Pandangan Negara Integralistik, Grafiti, Jakarta.
Surbakti, Ramlan A; 1984, "Teknokrasi dan Proses Politik", dalam Prisma 3, Maret 1984.
The World Bank; 1994, Governance: The World Bank's Experience, The World Bank, Washington.

Selasa, 29 Maret 2011

MEMPERTANGGUNGJAWABKAN SUARA HATI DALAM ETIKA ADMINISTRASI NEGARA.

1.      Rasionalitas Suara Hati
a.         Suara hati adalah kesadaran kewajiban kita dlam situasi konkret.jadi yang dilakukan oleh suara hati adalah memberikan sebuah penilaian moral. Dalam setiap sapaan suara hati termuat penilaian. Penilaian moral pada hakikatnya merupakan masalah perasaan belaka, dan suatu perasaan memang tidak dapat disebut benar atau salah dank arena itu juga tidak masuk akal,kalau dituntut pertanggungjawaban. Oleh akrena itu anggapan mereka disebut emotivisme (dari kata “emotion”, perasaan). Menurut emotivisme penilaian hanya mengungkapkan perasaan seseorang atau kelompok orang. Misalnya penilaian bahwa “membunuh itu jahat”. Pembunuhan sendiri memang merupakan sebuah fakta yang terjadi atau tidak, dapat direkonstruksikan dan sebagainya. Tetapi bahwa pembunuhan itu dinilai sebagai tidak baik tidak menambahkan sesuatu pada peristiwa itu. Penilaian itu hanya mengungkapkan bahwa orang tidak setuju dengan peristiwa itu atau merasa jijik. Begitu pula menurut emotivisme hal suara hati dan penilaian moral pada umumnya. Penilaian itu tidak benar atau salah, melainkan sekedar ungkapan sikap orang terhadap suatu peristiwa. Dan sikap itu adalah urusan kita masing-masing. Jadi penilaian moral tidak bersifat objektif. Maka tidak mungkin diberi pertanggungjawaban rasional dan objektif. Salah satu implikasi emotivisme ialah bahwa dengan demikian etika normative tak punya pekerjaan.

b.         Pertanggungjawaban penilaian moral.
Penilaian moral bukan sekedar masalah perasaan, melainkan masalah kebenaran objektif. Kalau ada perbedaan pendapat moral,kita tidak berdebat tentang perasaan kita, melainkan tentang apa yang secara objektif menjadi kewajiban kita apa tidak.fakta bahwa penilaian-penilaian moral diperdebatkan dengan argumentasi objektif, dan bahwa kedua belah pihak sependapat, bahwa hanya satu dari dua pendapat yang dapat betul (meskipun mereka tidak sependapat tentang pendapat mana yang betul) memperlihatkan bahwa penilaian moral bersifat rasional dan objektif.
c.         Berlaku universal
Penilaian moral tidak pernah hanya mengenai masalah konkret yang dihadapi, melainkan selalu mengandung klaim keberlakuan universal. Inilah sebabnya kita tidak dapat menerima, bahwa dalam masalah moral dua pendapat yang saling bertentangan sama-sama benar.
Universalitas kesadaran moral idalah bahwa seharusnya setiap orang dalam situasi saya sependapat dengan saya. Atau, bahwa apa yang dalam suara hati saya sadari sebagai kewajiban saya merupakan kewajiban bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang sama dengan saya,
d.        Bagaimana mempertanggungjawabkan suara hati?
Karena suara hati bukan hanya masalah perasaan belaka, dank arena suara hati mengklaim rasionalitas dan objektivitas,maka ia harus dipertanggungjawabkan. Rasionalitas menuntut agar setiap pendapat, anggapan, sikap, tuntutan, harapan, penilaian dan kepercayaan harus dulu dibuktikan kebenarannya, seakan-akan hitam atas putih, sebelum kita menerimanya. Rasionalisme itu tidak mungkin terlaksana dan juga tidak perlu. Tidak mungkin karena mustahil kita mencari bukti dulu setiap kali kita mau percaya pada orang lain dan memutuskan sesuatu berdasarkan nasihat-nasihat yang kita terima. Seperti kita tidak bisa memastikan apa setiap jembatan yang mau kita lewati, masih kuat. Dan rasionalisme tidak perlu, karena dua alasan. Pertama, kita masing-masing bukan manusia pertama di dunia ini dan tidak hidup sendirian di dalamnya. Maka tak perlu dan tak juga mungkin kita mau memastikan semua hal sendiri. Terpaksa kita percaya pada orang lain dan mendasarkan diri pada pelbagai tradisi yang memuat pengalaman generasi-generasi yang mendahului kita. Kedua, rasionalitas atau pengertian manusia yang sebenarnya adalah yang lebih mendalam  daripada sekedar akal yang kita pergunakan dalam pelbagai pertimbangan praktis atau konkret sehari-hari. Rasionalitas manusia yang sebenarnya bersumber pada lapisan-lapisan kepribadian kita yang lebig mendalam, yang di bawah sadar, dimana semua kesan yang kita peroleh bersama dengan segala macam pertimbangan  yang terus-menerus kita adakan dipersatukan, disimpan dan diolah. Dari dimensi kedalaman ini rasionalitas kita mendapat arah yang sebenarnya. Kesadaran pasca rasional ini sering kali lebih boleh kita percayai daripada kegiatan akal rasional yang dangkal, yang kita pergunakan untuk membuat kalkulasi atau menjawab soal ujian. Hal yang sama dapat juga dirumuskan begini: pendekatan rasional tidak menuntut agar setiap langkah kita pastikan dulu keamanannya sebelum kita mengambilnya, melainkan hanya agar kita mempertanggungjawabkan langkah-langkah kita kalau memang ada alasan-alasan nyata yang membuat kita menjadi ragu-ragu. Hal yang sama harus kita terapkan pada pertanggungjawaban suara hati. Yang dituntut rasionalitas, bukan rasionalisme. Yang  perlu adalah keterbukaan. Selama tidak ada alasan untuk meragukan suatu penilaian moral, tak perlu kita mempersoalkannya.tetapi apabila kita mulai merasa ragu-ragu, atau ada alasan untuk mempersoalkan suatu anggapan moral, atau ada yang mengajukan sangkalan, kita harus mempertanggungjawabkannya. Jadi pertanggungjawaban rasional suara hati tidak berarti, bahwa kita harus terbuka bagi setiapargumen, sangkalan, pertanyaan dan keragu-raguan dari orang lain atau dari dalam hati kita sendiri.

2.      Mengambil Keputusan
a.         Sebelum keputusan diambil
Selalu ada waktu sebelum sebuah keputusan harus diambil. Waktu itulah yang harus dipergunakan untuk menjamin sedapat-dapatnya agar keputusan yang akan diambil betul-betul setepat dan sebaik mungkin. Dalam persiapan pengambilan keputusan itulah rasionalitas kesadaran moral harus memainkan peranannya.
Yang dibutuhkan adalah sikap terbuka.terbuka berarti: bersedia untuk membiarkan pendapat sendiri dipersoalkan. Biasanya sebelum kita mengambi keputusan, sudah ada kecondongan dalam hati kita ke salah satu arah. Meskipun demikian,kita tidak boleh puas dengan pendapat atau kecondongan kita semula, melainkan secara kritis dan terbuka harus mencari, apa yang paling baik untuk diputuskan.
Untuk itu kita harus mencari semua informasi yang diperlukan untuk memberikan penilaian yang tepat. Kita harus mempelajari masalahnya. Kita harus memperhatikan pendapat-pendapat utama yang terdapat mengenai masalah yang harus kita putuskan. Terutama kita harus terbuka terhadap pandangan yang berbeda dengan pandangan kita. Kita harus mempertimbangkan argument pro dan contra, mana yang lebih kuat.                          
Sebelum kita mengambil sebuah keputusan kita selalu harus  bersikap terbuka. Kita harus betul-betul berusaha untuk menemukan keputusan mana yang paling tepat. Kita harus terbuka terhadap pandangan orang lain, terutama orang yang terkena oleh keputusan yang akan kita ambil, tetapi pada prinsipnya terhadap pendapat siapa saja yang releva. Kita harus seperlunya bersedia untuk memikirkan pendirian kita sendiri kembali dan bahkan untuk mengubah pendapat kita.kita tidak berhak untuk ngotot pada apa yang kita sebut keyakinan atau suara hati kita. Kita harus mencari segala informasi yang relevan dan memperhatikan serta menanggapi pendapat dan sangkalan orang lain. Seperlunya kita mencari nasihat. Dengan demikian kita telah melakukan apa yang perlu agar keputusan yang akan kita ambil setepat mungkin sejauh tegantung pada kita.     
b.         Mengambil keputusan
Kalau saat sebelum keputusan diambil adalah saat tuntutan rasionalitas suara hati, maka saat keputusan diambil berada di bawah tuntutan kemudahannya.keputusan harus selalu diambil menurut apa yang pada saat itu disadari sebagai kewajiban. Jadi menurut suara hati, pada saat keputusan harus diambil,kita harus mengikuti suara hati kita. Kita selalu mengambil keputusan sesuai dengan keinsafan kita pada saat itu. Jadi tidak sesuai dengan pandangan orang lain, dengan suatu tuntutan ideologis, engan suatu perasaan,melainkan sesuai dengan apa yang ada pada saat itu didasari sebagai kewajiban saya, entah sesuai atau tidak dengan pendapat orang lain.
c.         Pertimbangan sampai sekarang dapat menimbulkan kesan,seakan-akan pada saat keputusan harus diambil, suara hati kita selalu mengatakan dengan jelas apa yang wajib kita putuskan. Dalam kenyataan sering tidak demikian adanya.sering kali kita ragu-ragu tentang apa yang harus kita lakukan, kadang-kadang sampai sat dimana keputusan harus diambil. Justru orang yang bersikap sunguh-sungguh dan bersedia untuk melakukan apa yang merupakan tanggung jawabnya menyadari betapa kompleks situasi kehidupan manusia.


Senin, 28 Maret 2011

Peilaku Organisasi Pada Era Globalisasi

Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan  atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk  mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-sub sistem  yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values  subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem). Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi.
Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik yang menyebabkan organisasi mempunyai perilaku yang tidak sesuai dengan sasaran dan tujuan dari organisasi tersebut,. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Perilaku organisasi adalah bidang ilmu yang menyelidiki dampak dari pengaruh individu,kelompok, dan stuktur dalam organisasi terhadap perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya yang bertujuan untuk mengaplikasikan pengtahuan tersebut dalam meningkatkn efektivitas organisasi (Robbins, 1993). Perilaku organisasi ini sangat mempengaruhi penampilan organisasi. Karena perilaku organisasi ini biasanya berhubungan dengan perusahaan, tidak mengherankan bila perilaku yang dipelajari dalam perilaku organisasi ini adalah yang berhubungan dengan pekerjaan, tugas-tugas tertentu, mangkir kerja, perpindahan kerja, dan manajemen.
Namun, sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik, sehingga organisasi menjadi menyimpang. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain.
Perlu diingat bahwa konsep-konsep tentang perilaku organisasi harus mereflesikan kemungkinan-kemungkinan dalam situasi tertentu. Misalnya, dalam pengambilan keputusan, dalam situasi-situasi tertentu model partisipatif dianggap lebih superior, tetapi dalam situasi-situasi yang lain model autokratik dianggap lebih efektif. Dalam soal kepemimpinan, efektivitas tipe kepemimpinan tertentu bisa berubah-ubah (contigent) tergantung dari situasi pada saat tipe tersebut digunakan.
Perilaku organisasi memang dapat meramalkan perilaku seseorang di dalam organisasi pada waktu dan situasi tertentu sehingga memungkinkan penyelesaian masalah yang paling cocok berdasarkan ramalan tersebut. Akan tetapi, pada waktu dan situasi yang lain ramalan tersebut bisa tidak berlaku lagi dan usulan penyelesaian pun harus berbeda. Pokoknya, hanya sedikit sekali yang bersifat absolute dalam perilaku organisasi.
Dalam praktiknya, system social di dalam organisasi terdiri dari dua jenis, yaitu system social yang formal (official) dan system social yang informal (unofficial). Adanya system social ini menunjukkn bahwa lingkungan organisasi itu selalu berubah secra dinamis, bukannya sesuatu yang statis. Oleh karena itu, senua bagian dalam system social itu saling terkait dan akan sangat penting atinya dalam melakukan analisis tentang isu-isu perilaku oraganisasi.hal ini akan membantu pengertian kita dan kemampuan manajemen kita dalam masalah-masalah perilaku organisasi.tu pengertian kita dan kemampuan manajemen kita dalam masalah-masalah perilaku organisasi.
Berdasarkan latar belakang di atas dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Tantangan apakah yang di hadapi perilaku organisasi pada era globalisasi?
2.    Bagaimanakah cara manajer suatu organisasi atau perusahaan dalam menyelesaikan konflik antar kelompok yang terjadi di dalam perusahaan ataupun organisasi tersebut.

A. Tantangan Peilaku Organisasi Pada Era Globalisasi
Ada dua isu pokok yang menjadi focus perubahan pada tahun 90-an, yaitu inovasi dan penguatan motivasi intrinsic (empowermwnt) pada karyawan perusahaan. Dalam kompetisi global yang mendunia secara dinamis, organisasi yang inovatif itu lebih adaptif dan lebih besar kemungkinannya untuk maju. Demikian juga, jika perusahaan menginginkan lebih efisien dan responsive, manajemen dapat memotng biaya, meningkatkan motivasi karyawan, dan meningkatkan produktivitas dengan jalan memperkuat barisan tenaga kerjanya.
Pemahaman mengenai pentingnya perilaku organisasi oleh para manajer diperlukan sekali pada saat ini mengingat begitu cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi. Umpamanya, meratanya jumlah karyawan yang lebih tua karena panjangnya harapan hidup, makin bertambahnya karyawati di tempat kerja, restrukturisasi perusahaan dan penghematan yang sering merenggangkan ikatan kesetiaan karyawan kepaa pimpinan, dan kompetisi global yang memerlikan karyawan yang fleksibel, inovatif, dan bisa mengatasi perubahan yang terjadi secara cepat. Dengan kata lain, akan terjadi banyak tantangan dan kesempatan dalam perilaku organisasi pada masa depan. Isu kritis untuk para manajer, yang memerlukan perilaku organisasi dalam membantu penyelesaiannya, setidak-tidaknya ada kesadaran atau intropeksi menuju penyelesaian.
Adapun tantangan yang dihadapi oleh perilaku organisasi pada era globalisasi ini yaitu:
1.    Keanekaragaman Tenaga Kerja
Organisasi dan perusahaan-perusahaan yang ada saat ini menjadi lebih heterogen dalam masalah jenis kelamin, kesukuan, dan kebangsaan.keragaman juga mencakup masalah ketidaknormalan seperti cacat fisik, homoseksualitas, ketuaan, dan kelebihan berat badan. Keanekaragaman tenaga kerja ini memiliki implikasi yang penting dalam praktik manajemen. Para manajer perlu mengubah filosofinya, dari memperlakukan semua karyawan secara sama menjadi mengenal perbedaan-perbedaan yang memerlukan respons yang berbeda pula dengan cara-cara yang bisa mempertahankan atau meningkatkan produktivitas kerja, tanpa terkesan melakukan diskriminasi. Kalau dimanajemeni secara positif, keanekaragaman tenaga kerja dapat meningkatkan kreativitas dan inovasi di dalam perusahaan atau organisasi. Akan tetapi, kalau keanekaragaman ini tidak dimanajemeni secara tepat, bisa menyebabkan meningkatnya angka pindah kerja, konflik antarkaryawan, dan kesulitan dalam komunikasi.

2.    Penurunan Kesetiaan
Karyawan perusahaan dahulu memiliki kepercayaan bahwa perusahaan akan memberikan penghargaan untuk kesetiaan dan pekerjaan baik mereka, dengan keamanan kerja, kenaikan gaji/upah dan berbagai keuntungan lainnya. Tetapi, di negara-negara maju khususnya, sejak pertengahan tahun 80-an, sebagai respons terhadap kompetisi global, pengambilalihan perusahaan, pembajakn tenaga ahli, dan semacamnya, perusahaan mulai membuang kebijakan lama tentang keamanan kerja, senioritas, dan kompensasi. Mereka menerapkan kebijakan optimasi dan efisiensi dengan cara menutup beberapa pabrik, memindahkan perusahaan ke luar negeri, menjual atau menutup perusahaan-perusahaan yang kurang menguntungkan dan merumahkan seluruh lapisan manajemen.
Perubahan-perubahan ini mengakibatkan menurunnya kesetiaan karyawan. Dalam penelitian terakhir pada karyawan di Amerika Serikat, 57% di antara mereka mengatakan bahwa perusahaan sendiri kurang setia kepada karyawannya sekarang ini dibandingkan sepuluh tahun yang lalu (Traub, 1990). Tentu saja, komitmen karyawan terhadap perusahaan menjadi berkurang karena perusahaan sendiri menunjukkan penurunan komitmen kepada karyawannya. Tantangan yang penting dalam perilaku organisasi yang akan dihadapi oleh para manajer adalah menciptakan cara-cara terbaik untuk memotivasi karyawan yang kurang komitmennya terhadap perusahaan, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kemampuan organisasi dalam kompetisi global.
3.    Kekurangan Tenaga Kerja
     Diramalkan, kalau tidak terjadi penurunan ekonomi yang mendadak (krisis ekonomi), pasaran tenaga kerja dalam 15-20 tahun mendatang akan menjadi bidang usaha yang empuk bagi para penyalur tenaga kerja, terutama tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan professional. Perusahaan-perusahaan harus memikirkan kembali kebijakan tentang rekruitmen, pelatihan, kompensasi, dan berbagai keuntungan karyawan lainnya. Jika nantinya lebih banyak pekerjaan yang ditawarkan daripada tenaga-tenaga terlatih untuk mengisinya, perusahaan harus memiliki kebijakan yang progresif tentang sumber daya manusia dan manajemennya juga harus memiliki keterampilan dalam aspek kemanusiaan karyawan, agar dapat diperoleh dan dipertahankan karyawan-karyawan yang terbaik kualitasnya.  
4.    Kekurangan Keterampilan
     Sejalan dengan kekurangan tenaga kerja,kenyataan lain menunjukkan bahwa sejumlah besar pencari kerja ternyata tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Hal serupa ini dialami juga oleh sebagian besar pencari kerja di Indonesia. Di satu pihak, angka pengangguran meningkat tajam. Di pihak lain, banyak lowongan kerja  professional yang tidak dapat diisi oleh tenaga-tenaga bangsa sendiri, tetapi diisi oleh bangsa asing. Para manajer dituntut untuk lebih bertanggungjawab memenuhi kebutuhan karyawan-karyawan terampil dan mempertahankan mereka agar tidak pindah kerja pada perusahaan asing.
5.    Stimulasi Inovasi dan Perubahan
     Sekarang ini perusahaan-perusahaan yang ingin sukses harus memelihara dan meningkatkan inovasi serta menguasai seni perubahan. Bila tidak melakukan langkah-langkah tersebut, mereka akan menghadapi kebangkrutan. Keberhasilan akan diperoleh oleh perusahaan-perusahaan yang memepertahankan fleksibilitas, meningkatkan kualitas secara terus-menerus, dan mengalahkan saingan di pasaran dengan produk dan jasa yang inovatif secara konstan. Para karyawan perusahaan itu sendiri bisa menjadi pencetus inovasi dan perubahan atau malah menjadi penghalang untuk hal-hal serupa itu. Dalam hal ini, menstimulasi kreativitas dan toleransi para karyawan untuk suatu peubahan menjadi tantangan bagi para manajer. Bidang perilaku organisasi di sini adalah memberikan berbagai kekayaan ide dan teknik untuk membantu merealisasikan tujuan ini.

B.  Mengelola Konflik Antar Kelompok
Konflik akan terjadi sejalan dengan meningkatnya konpleksitas organisasi, oleh karenanya maka manajer atau pimpinan organisasi harus mampu untuk mengendalikan konflik yang disfungsional yang terjadi dalam organisasi. Karena konflik seperti itu dapat menurunkan prestasi organisasi dan berpengaruh juga tentunya terhadap perilaku organisasi. Kemempuan untuk mengendalikan konflik yang terjadi dalam organisasi membutuhkan keterampilan manajemen tertentu. Ada empat strategi yang dapat dipergunakan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam oganisasi, yaitu strategi penghindaran, strategi intervensi kekuasaan, strategi penggembosan, dan strategi resolusi.
1.    Strategi Penghindaran
Strategi penghindaran pada umumnya tidak mempertimbangkan sumber-sumber konflik tetapi membiarkan konflik tetap ada dalam kondisi yang terkendali. Dua strategi penghindaran yang dapat dilakukan adalah mengabaikan konflik yang terjadi dan melakukan pemisahan secara fisik.
a.    Mengabaikan konflik
Jika konflik yang terjadi tidak begitu berat dan tidak berbahaya, manajer/pimpinan biasanya mengabaikannya dan seakan-akan konflik tersebut tidak ada. Pimpinan organisasi tidak mengidentifikasi sebab timbulnya konflik maupun menyelesaikannya dan strategi ini efektif jika situasi konflik tidak memburuk.
b.    Pemisahan secara fisik
     Jika dua kelompok yang bermusuhan secara fisik dipisahkan maka permusuhan dan agresi secara terbuka dapat dikurangi. Strategi pemisahan secara fisik efektif hanya jika kedua kelompok tidak memerlukan adanya interaksi dan pemisahan mengurangi gejala dari konflik. Akan tetapi jika dua kelompok tersebut memerlukan interaksi dalam melaksanakan tugasnya, maka strategi pemisahan hanya akan menyebabkan prestasi yang buruk.
2.    Strategi intervensi kekuasaan
Ketika kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik tidak mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka, beberapa bentuk dari penggunaan kekuasaan dapat dipergunakan. Sumber kekuasaan dapat berasal dari hirarkhi yang lebih tinggi di dalam organisasi dalam bentuk perintah otoritatif, dan dengan manuver-manuver politik.
a.    Menggunakan perintah otoritatif dan penerapan peraturan
Jika konflik yang terjadi terlalu besar untuk diabaikan, maka manajer atau pimpinan yang lebih tinggi dapat mengendalikan atau menyelesaikan konflik dengan menggunakan perintah otoritatif. Dalam keputusan secara sepihak agar konflik tidak terjadi kembali maka perintah otoritatif perlu disertai dengan ancaman seperti pemecatan atau pemindahan ke kelompok yang lainnya. Pimpinan diatasnya juga dapat menerapkan peraturan dan prosedur yang membatasi konflik pada tingkat yang dapat diterima.
b.    Manuver Politik
Dua kelompok yang mengalami konflik dapat memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan melakukan maneuver-manuver politik dimana masing-masing kelompok mencoba untuk menghimpun kekuatan untuk memaksa kelompok yang lainnya. Proses demokratis yang biasanya dipergunakan adalah membawa is tersebut ke dalam pemungutan suara.semua kelompok berupaya untuk mempengaruhi hasil dari pemungutan suara tersebut dengan meminta dukungan dari pihak luar. Pemecahan konflik dengan cara ini akan meningkatkan situasi menag-kalah, sementara sumber dari konflik tidak dieliminir. Pihak yang kalah akan merasa denda dan terus menentang piahak yang menang.
3.    Strategi penggembosan
Strategi penggembosan mencoba untuk mengurangi tingkat emosional dan kemarahan dari konflik pihak-pihak yang sedang mengalami konflik. Focus dari strategi penggembosan umumnya hanya pada permukaannya saja dan tidak sampai menyentuh pada akar dari permasalahannya.tiga strategi penggembosan yang dapat dilakukan adalah pelunakan, kompromi, dan mengidentifikasi musuh bersama.
      Proses pelunakan dilakukan dengan cara menonjolkan kesamaan-kesamaan dan kepentingan bersama di antara kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik, dan sebaliknya memperkecil perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dengan menekankan pada kesamaan dan kepentingan bersama membantu kelompok yang sedang mengalami konflik untuk melihat tujuannya tidak jauh berbeda dan ada sesuatu yang didapat dengan bekerjasama. Sekalipun pelunakan mampu untuk menyadarkan kelompok tentang tujuan bersama mereka, hal ini hanyalah penyelesaian yang bersifat sementara karena cara ini tidak menyelesaikan sumber yang melandasi konflik.


Minggu, 27 Maret 2011

PENGERTIAN SISTEM

PENGERTIAN SISTEM
Istilah sistem paling sering digunakan untuk menunjuk pengertian metode atau cara dan sesuatu himpunan unsur atau komponen yang saling berhubungan satu sama lain menjadi satu kesatuan yang utuh. Sebagai suatu himpunan, system pun didefinisikan bermacam-macam pula.
A.    Berbagai penggunaan istilah sistem
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mempunyai pengertian demikian :
1.      Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compounded of several parts—Shrode dan Voich, 1974 : 115).
2.      Hubungan  yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur (an organized, functioning relationship among units or components – Awad, 1979 : 4)
Jadi, dengan kata lain systema itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan (a whole).
Penggunaan istilah sistem itu diantaranya :
1.      Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau saling ketergantungan yang teratur dan yang tergabungkan secara alamiah maupun oleh budi daya manusia sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan terpadu ; suatu yang berfungsi, bekerja atau bergerak serentak bersama-sama mengikuti suatu kontrol tertentu. Contohnya sistem tata surya dan ekosistem.
2.      Sistem yang menyangkut alat-alat atau organ tubuh secara keseluruhan yang secara khusus memberikan sumbangan terhadap berfungsinya fungsi tubuh tertentu yang rumit tetapi amat vital.
Misalnya sistem syaraf.
3.      Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan sebagainya yang membentuk suatu kesatuan yang logik dan dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu.
Contohnya : Sistem Teologis Agustinus, sistem pemerintahan demokratis dan sistem masyarakat islam.
4.      Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu teori atau hipotesis (yang dilawankan dengan praktek).
Misalnya pendidikan sistematik.
5.      Sistem yang digunakan dalam arti metode atau tata cara.
Misalnya sistem mengetik sepuluh jari, sistem modul dalam pengajaran, pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan sistem anak angkat.
6.      Sistem yang digunakan untuk menunjuk metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu, atau mode tata cara dan dalam pengertian metode pengelompokkan, pengkodifikasian dan sebagainya.
7.      Misalnya sistem pengelompokkan bahan pustaka menurut Dewey.

Jika diperhatikan dengan seksama, pemakaian sistem dapat digolongkan secara garis besar pemakaian sistem itu digolongkan menjadi 2, yaitu :
1.      Sistem sebagai suatu wujud (entitas)
Suatu sistem bisa dianggap suatu himpunan bagian yang saling berkaitan membentuk satu keseluruhan yang rumit atau komplek. Sistem sebagai suatu wujud, suatu entitas, sebagai suatu benda, pada dasarnya bersifat deskriptif, bersifat menggambarkan. Pola seperti ini berguna sekali, yakni dalam hal memberikan kemungkianan untuk menggambarkan dan membedakkan antara benda yang satu dengan yang berlainan guna kepentingan panganalisaan dan untuk mempermudah pemecahan masalah.
2.      Sistem sebagai suatu metode
Kata-kata sistem mempunyai makna metodologik, Sistem yang dipergunakan menunjuk tata cara (prosedur), jadi bersifat preskriptif bukan deskriptif. Sistem dalam arti wujud (entitas) bersifat deskriptif.
Contoh Deskriptif ( ini program investasi ) dan Preskriptif ( Ini program investasi yang akan meningkatkan deviden )
Contoh-contoh tersebut masing-masing menunjukan wujud barang ( deskriptif ) sedangkan ( preskriptif ) yaitu suatu metode atau cara untuk mencapai sesuatu.
Konsep sistem sebagai metode ini dikenal dalam pengertian umum sabagai Pendekatan sistem. Pendekatan tersebut merupakan penerapan metode ilmiah di dalam usaha memecahkan masalah. Mempergunakan pendekatan sistem menuntu pemahaman bahwa setiap sistem itu berada dari sistem yang lebih besar atau lebih luas sehingga semua benda dengan sesuatu cara saling berkaitan.


B.     Definisi-definisi sistem
Kebanyakan definisi sistem lebih menujuk sebagai suatu wujud benda jarang yang mengenai sistem sebagai metode. Karena itu definisi yang dikutip di sini umumnya menunjuk wujud benda.
Definisi yang apling sederhana di kemikakan oleh Johnson, Kast dan Rosenzweig sebagai berikut ” Suatu sistem adalah suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks/utuh ”.
Definisi yang lebih lengkap menunjukkan adanya tujuan sesuatu sistem. Misalnya menurut Campbell (1979 : 3), ” Sistem merupakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai sesuatu tujuan  ”.
Sedangkan menurut Awad, ” sistem merupakan sehimpunan komponen yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai rencana untuk mencapai tujuan tertentu ”.
Definisi tersebut nampak terlampau rumit. Untuk memperejelasnya beberapa contoh diberikan Murdick dan Ross sebagai berikut :
1.      Sistem Pabrik. Sekelompok orang, mesin dan fasilitas (sehimpunan unsur) melakukan kegiatan atau bekerja untuk menghasilkan produk tertentu (mencapai tujuan bersama) dengan mendayagunakan persyaratan produk, jadwal, bahan mentah dan daya listrik yang diubah menjadi daya mekanik (mengolah data, bahan dan energi) guna menghasilkan hasil karya/produk dan informasi yang telah direncanakan atau diterapkan pada para langganan ( guna menghasilkan barang pada saat yang telah ditetapkan).
2.      Sistem Informasi Manajemen. Sekumpulan orang, seperangkat pedoman dan alat perlengkapan pegolah data (sekumpulan unsur) memilih,  menyimpan, mengolah dan memanggil kembali data (mengolah data dan bahan) untuk mengurangi ketidakpastian di dalam pembuatan keputusan (mencapai tujuan bersama) dengan menghasilkan informasi bagi pimpinan.
3.      Sistem Organisasi Usaha. Sekumpulan orang (sehimpunan unsur) mencari dan mengolah sumber-sumber material dan informasi (membuat kegiatan) untuk mencapai berbagai macam tujuan bersama.
C.    Sistem, unsur-unsur sistem dan tujuan sistem
Secara sederhana sistem itu merupakan sehimpunan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama. Pengertian ini dapat digambarkan dengan beberapa contoh sistem, unsur-unsurnya dan tujuannya seperti yang terlihat dalam bagan berikut (berdasarkan Murdick dan Ross, 1982 : 2 dan Winardi, 1980 : 2)
SISTEM
UNSUR-UNSUR
TUJUAN
Tubuh manusia
Organ-organ,  susunan urat syaraf, sistem  peredaran darah dan sebagainya
Homeostasis / keadaan selaras
Klab rekreasi
Anggota
Rekreasi
Pabrik
Orang, mesin, bangunan, bahan material
Produksi barang
Sistem peluru kendali (rudal)
Peluru kendali, dan tempat pelontarannya, manusia, jaringan pelacakan dan komunikasi
Serangan balik
Kepolisian
Manusia, perlengkapan, bangunan, jaringan komunikasi
Pengendalian keamanan
Komputer
Komponen fisik dan hubungan
Pengolahan data
Cakrawala
Bintang, planit, energi
Tidak jelas
Filsafat
Ide-ide (buah pikiran)
Kepahaman

Sabtu, 26 Maret 2011

MELIHAT FENOMENA PEDAGANG KAKI LIMA MELALUI ASPEK HUKUM


Pengantar

Di kota-kota besar keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil. Akhir-akhir ini fenomena penggusuran terhadap para PKL marak terjadi. Para PKL digusur oleh aparat pemerintah seolah-olah mereka tidak memiliki hak asasi manusia dalam bidang ekonomi sosial dan budaya (EKOSOB). Saya melihat PKL ini merupakan fenomena kegiatan perkonomian rakyat kecil, yang mana mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari.

Pedagang Kaki Lima ini timbul dari adanya suatu kondisi pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata diseluruh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia ) ini. PKL ini juga timbul dari akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab didalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan. Ketentuan ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang tertinggi yaitu UUD 45. Diantaranya adalah :

Pasal 27 ayat (2) UUD 45 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Pasal 31 UUD 45 :

  1. Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.
  2. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.


Pasal 33 UUD 45 :

  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pasal 34 UUD 45 :

  1. Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara
  2. Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
  3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.


Dengan adanya pengaturan mengenai tanggung jawab pemerintah dalam UUD 45, hal ini menunjukkan bahwa Negara kita adalah Negara hukum. Segala hal yang berkaitan dengan kewenangan, tanggung jawab, kewajiban, dan hak serta sanksi semuanya diatur oleh hukum.

Akan tetapi ternyata ketentuan-ketentuan diatas hanya berkutat pada kertas saja. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah dalam bidang pendidikan, perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan belum pernah terealisasi secara sempurna. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya jumlah rakyat miskin di Indonesia . Kemiskinan ini diakibatkan oleh tidak adanya pemerataan kemajuan perekonomian, peningkatan kwalitas pendidikan dan penyediaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah. Data terakhir dari jumlah rakyat miskin di Indonesia adalah 18 juta keluarga, jika setiap keluarga terdiri dari 3 orang, itu berarti terdapat sekitar 54 juta jiwa penduduk Indonesia termasuk kategori miskin (sumber Badan Pusat Statistik).[2]Jumlah ini masih yang terdata, bagaimana dengan orang-orang miskin yang tidak terdata, mungkin jumlahnya akan semakin besar.

Mengapa rakyat miskin ini sangat besar jumlahnya ???. Padahal pemerintah telah diberi tangung jawab oleh UUD 45. Permasalahan ini timbul diakibatkan oleh adanya watak atau mental para birokrat kita yang korup. Sudah banyak sekali dana baik itu dari RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daearah) atau bantuan dari Negara-negara maju didalam menuntaskan masalah kemiskinan. Dana-dana tersebut banyak yang tidak jelas penggunaannya, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang penggunaannya hanya untuk memperkaya para pihak birokrat saja.

Jadi sangat wajar sekali fenomena Pedagang Kaki Lima ini merupakan imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia . Mereka berdagang hanya karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, dan tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik dan tidak adanyanya lapangan pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia harus berdagang di kaki lima . Mengapa pilihannya adalah pedagang kaki lima ???? Karena pekerjaan ini sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu modalnya tidak besar, tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, dan mudah untuk di kerjakan.

Di NKRI ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur Pedagang Kaki lima . Padahal fenomena pedagang kaki lima sudah merupakan permasalahan yang pelik dan juga sudah merupakan permasalahan nasional, karena disetiap kota pasti ada pedagang kaki limanya. Pengaturan mengenai Pedagang Kaki Lima ini hanya terdapat dalam peraturan daerah (perda). Perda ini hanya mengatur tentang pelarangan untuk berdagang bagi PKL di daerah-daerah yang sudak ditentukan. Namun mengenai hak-hak PKL ini tidak diatur didalam perda tersebut. Untuk kota Bandung , ketentuan mengenai PKL ini diatur didalam Perda no 03 2005 jo. Perda no.11 tahun 2005.

Perlindungan hukum bagi Pedagang Kaki Lima

Walaupun tidak ada pengaturan khusus tentang hak-hak Pedagang Kaki Lima, namun kita dapat menggunakan beberapa produk hukum yang dapat dijadikan landasan perlindungan bagi Pedagang Kaki Lima. Ketentuan perlindungan hukum bagi para Pedagang Kaki Lima ini adalah :

Pasal 27 ayat (2) UUD 45 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Pasal 11 UU nomor 39/199 mengenai Hak Asasi Manusia : “ setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.”

Pasal 38 UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia :
  1. “ Setiap warga Negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
  2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang di sukainya dan ……….

Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : “ Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindunga, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk :
                            
menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima , serta lokasi lainnya.


Dengan adanya beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki lima , harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil.

Walaupun didalam Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya, namun pemerintah harus mampu menjamin perlindungan dan memenuhi hak-hak ekonomi pedagang kaki lima .

Hak-hak PKL ketika dilakukan pembongkaran

Fenomena dalam pembongkaran para PKL ini sangat tidak manusiawi. Pemerintah selalu menggunakan kata penertiban dalam melakukan pembongkaran. Sangat disayangkan ternyata didalam melakukan penertiban sering kali terjadi hal-hal yang ternyata tidak mencerminkan kata-kata tertib itu sendiri. Kalau kita menafsirkan kata penertiban itu adalah suatu proses membuat sesuatu menjadi rapih dan tertib, tanpa menimbulkan kekacauan atau masalah baru.

Pemerintah dalam melakukan penertiban sering kali tidak memperhatikan, serta selalu saja merusak hak milik para pedagang kaki lima atas barang-barang dagangannya. Padahal hak milik ini telah dijamin oleh UUD 45 dan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Diantaranya berbunyi sebagai berikut :
  • Pasal 28 G ayat (1) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi; keluarga; kehormatan; martabat; dan harta benda yang dibawah kekuasaannya , serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
  • Pasal 28 H ayat (4) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang.”
  • Pasal 28 I ayat (4) UUD 45, berbunyi “ perlindungan; pemajuan; penegakan; dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah.”


Sedangkan didalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai HAM, berbunyi sebagai berikut :
  • Pasal 36 ayat (2) berbunyi “ tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang.”
  • Pasal 37 ayat (1) berbunyi “ pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi kepentingan umum; hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan serta pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
  • Pasal 37 ayat (2) berbunyi “ apabila ada sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik itu untuk selama-lamanya maupun untuk sementara waktu, maka hal itu dilakuakan dengan mengganti kerugian.
  • Pasal 40 berbunyi “ setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”


Pemerintah didalam melakukan penertiban harusnya memperhatikan dan menjunjung tinggi hak milik para PKL atas barang dagangannya. Ketika pemerintah melakukan pengrusakan terhadap hak milik para PKL ini, maka ia sudah melakukan perbuatan melanggar hukum, yakni ketentuan yang terdapat dalam hukum pidana dan juga ketentuan yang terdapat didalam hukum perdata.

Adapun ketentuan yang diatur didalam hukum pidana adalah :

Pasal 406 ayat (1) KUHPidana berbunyi : “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.”

Sedangkan ketentuan yang diatur didalam Hukum Perdatanya adalah

Pasal 1365 berbunyi : “ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Bagaimana kita mau menegakkan suatu hukum dan keadilan, ketika cara (metode) yang dipergunakan justru melawan hukum. Apun alasannya PKL ini tidak dapat disalahkan secara mutlak. Harus diakui juga memang benar bahwa PKL melakukan suatu perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada didalam perda. Akan tetapi pemerintah juga telah melakukan suatu perbuatan kejahatan ketika ia melakukan pengrusakan atas hak milik barang dagangan PKL, dan pemerintah juga harus mengganti kerugian atas barang dagangan PKL yang dirusak.

Pemerintah belum pernah memberikan suatu jaminan yang pasti bahwa ketika para PKL ini di gusur, mereka harus berjualan di tempat seperti apa. Jangan-jangan tempat yang dijadikan relokasi para PKL tersebut, ternyata bukanlah suatu pusat perekonomian. Sekarang ini penguasaan pusat kegiatan perekonomian justru di berikan pada pasar-pasar hipermart atau pasar modern dengan gedung yang tinggi serta ruangan yang ber AC. Para pedagang kecil hanya mendapatkan tempat pada pinggiran-pinggiran dari kegiatan perekonomian tersebut.

Pasal-pasal mengenai PKL yang bermasalah didalam perda K3 kota Bandung

Didalam perda K3 ini terdapat pasal mengenai PKL yang rancu bila kita mencoba untuk menafsirkannya. Adapun pasal tersebut adalah :

Pasal 49 ayat (1) Perda nomor.11 tahun 1005 berbunyi : “ bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan berupa :

  • berusaha atau berdagang di trotoar ; badan jalan/jalan; taman; jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukkannya tanpa izin dari walikota dikenakan biaya paksa penegakan hukum sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah ) dan/atau sanksi administrative berupa penahanan untuk sementara waktu KTP atau kartu tanda identitas penduduk lainnya.


  • mendirikan kios dan/atau berjualan di trotoar; taman; jalur hijau; melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman atau jalur hijau dikenakan pembebanan biaya paksa penegakan hukum sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah ) dan atau sanksi administrative berupa penahanan sementara KTP atau kartu identitas penduduk lainnya.


Didalam pasal ini terdapat kata-kata yang berbunyi “tempat-tempat lain yang bukan peruntukkannya tanpa mendapat izin dari walikota”. Kata-kata ini dapat menimbulkan peluang adanya kesewenang-wenangan pemkot didalam menentukan tempat yang tidak memperbolehkan para PKL untuk berjualan. Harusnya kata-kata ini lebih diperinci lagi hingga tempat-tempat seperti apa saja yang tidak memperbolehkan PKL untuk berjualan. Karena bila tidak DIPERINCI, maka akan dapat memberi peluang untuk mematikan hak-hak Ekonomi PKL pada suatu tempat, yang mana tempat tersebut dapat memberi peluang untuk mendapatkan keuntungan didalam berdagang.

Untuk itu pemerintah kota harus menjelaskan secara terperinci tempat-tempat seperti apa saja yang dilarang atau pun yang diperbolehkan didalam berdagang. Apabila hanya tempat2 yang dilarang saja yang disebutkan, maka pemerintah sama saja dengan menghilangkan hak-hak rakyat dalam mengakses pendapatan dari perputaran kegiatan ekonomi di suatu tempat yang strategis. Secara hukum para PKL ini sudah dijamin hak nya dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Mengenai sanksi adanya biaya paksa penegakan hukum ini juga hal yang aneh. Karena didalam penegakan hukum tidak pernah ada biaya paksa penegakan hukum. Biaya mengenai penegakan hukum itu sudah merupakan bagian dari anggaran instansi-instansi penegak hukum, seperti Kepolisian, TNI, dan Polisi Pamong Praja. Masing-masing instansi tersebut sudah memiliki anggaran didalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannnya. Jadi adanya biaya paksa penegakan hukum ini sangat tidak rasional dan tidak jelas apa tujuannya. Adanya biaya paksa penegakan hukum ini memiliki dasar hukum didalam pasal 143 UU Nomor 32 mengenai Pemerintahan Daerah. Akan tetapi adanya pasal ini juga harus di pertanyakan karena tidak jelas apa fungsi dan kegunaannya serta instansi apa yang berwenang mengelola biaya ini. Dan juga hal ini akan memberikan peluang akan adanya praktek korupsi didalam penegakan hukum itu sendiri.

Penutup

Harus diakui bahwa PKL ini timbul dari adanya ketimpangan sosial dan pembangunan perekonomian serta pendidikan yang tidak merata di Negara ini. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya coba mengutip perkataan Bernard Haring “Moralitas dan kemerdekaan kita hanya akan tetap menjadi impian belaka jika tidak melahirkan dampak pada kehidupan sosial-ekonomi dan politik.”

“ Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak halal); dan kamu bawa perkaranya kepada hakim (pemerintah) supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengetahuinya.”

(QS Al-Baqarah ayat 188)

—————————————————–

[1] Iqbal Tawakkal Pasaribu, Mahasiswa Fakultas Hukum UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG, tlpn-022-70357840/081322374156

[2] Lihat koran harian KOMPAS, edisi rabu, 1 februari 2006, hal 23