Kamis, 24 Maret 2011

EFEKTIVITAS PELAYANAN PUSKESMAS

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan adalah istilah yang lazim kita dengar di era modern seperti sekarang ini. Hakekat pembangunan itu sendiri adalah suatu proses perubahan terus-menerus ke arah yang lebih baik dimana pembangunan tersebut akan bermanfaat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan pembangunan nasional seperti yang dijelaskan dalam GBHN Tahun 1999 merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.
Pembangunan nasional yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat dalam pelaksanaannya tentu tidak dapat dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki terutama sumber daya manusia (SDM). Hal ini dikarenakan manusia merupakan subjek atau aktor utama yang menggerakkan, mengarahkan, dan melaksanakan kegiatan pembangunan ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sekaligus sebagai objek atau sasaran yang menikmati hasil pembangunan itu sendiri. Sedang keberadaan atau berfungsinya sumber daya lain ditentukan oleh kualitas SDM dalam memanfaatkan sumber daya tersebut untuk mencapai tujuan pembangunan. Dengan kata lain, SDM sebagai sumber daya insani dan aktor utama pembangunan perlu senantiasa ditingkatkan kualitasnya.
Berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas SDM baik segi fisik maupun psikis, maka bidang kesehatan merupakan bidang yang paling sentral untuk diperhatikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pembangunan kesehatan guna meningkatkan kualitas SDM.
Dalam GBHN Tahun 1999, pembahasan mengenai pembangunan bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial meliputi: 1)meningkatkan mutu SDM dan lingkungan yang saling mendukung dengan paradigma sehat yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, penyembuhan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai lanjut usia; 2)meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan SDM secara berkelanjutan dan sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat (Anonim, 1999:29)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan di Indonesia dinyatakan dalam program Indonesia Sehat 2010. Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat , bangsa, dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memilki derajat kesehatan setinggi-tingginya di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk dapat mewujudkan visinya, maka Indonesia Sehat 2010 menetapkan misi Indonesia Sehat 2010, yaitu:
1.      Menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan
2.      Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat
3.      Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau
4.      Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya (Depkes RI, 2001:15-16).
Program pembangunan kesehatan di Indonesia guna mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010 dilaksanakan di setiap daerah di seluruh Indonesia. Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu kabupaten yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai kabupaten percontohan di Indonesia dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kabupaten Purbalingga juga dinyatakan sebagai kabupaten terbaik di bidang pelayanan kesehatan dengan memperoleh penghargaan “Suara Merdeka Otonomi Awards 2005” (Suara Merdeka, 26 April 2006).
Untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas SDM, maka di tiap kecamatan dibangun instansi pemerintah sebagai unit penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat, yakni Puskesmas. Puskesmas merupakan kesatuan organisasi fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Puskesmas sebagai bentuk dari pelayanan kesehatan dasar diharapkan menjadi ujung tombak dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Sebagaimana ditetapkan oleh Ditjen Kesehatan Masyarakat bahwa visi Puskesmas secara umum adalah mewujudkan kecamatan sehat melalui pelayanan kesehatan sesuai dengan masalah kesehatan lokal yang ada, termasuk masalah kesehatan nasional yang sedang dihadapi (dalam www.smeru.or.id)
Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat memiliki fungsi yang vital, yakni:
1.      Sebagai pusat pembangunan kesehatan
2.      Sebagai pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan
3.      Sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama (Azwar, 1996:119)

Salah satu Puskesmas yang ada di Kabupaten Purbalingga adalah Puskesmas Padamara. Puskesmas ini merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten Purbalingga yang telah dilengkapi fasilitas IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan rawat inap. Puskesmas ini juga sudah memiliki Standart Operasional Prosedure (SOP) sebagai pedoman dalam memberikan pelayanan. Lokasi Puskesmas ini memudahkan akses bagi masyarakat dalam mendapatkan pelayanan karena berada di tengah wilayah Kecamatan Padamara dan juga di jalur utama Banyumas-Purbalingga. Puskesmas ini wilayah kerjanya meliputi 14 desa, yakni:
1.      Desa Karang Gambas       8. Desa Kalitinggar Lor
2.      Desa Mipiran                     9. Desa Kalitinggar Kidul
3.      Desa Purbayasa                 10. Desa Karang Pule
4.      Desa Prigi                          11. Desa Karang Jambe
5.      Desa Padamara                 12. Desa Karang Sentul
6.      Desa Dawuhan                  13. Desa Gemuruh
7.      Desa Bojanegara               14. Desa Sokawera
Dari ke 14 desa tersebut, Puskesmas Padamara harus memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sebanyak 38.026 jiwa.
            Dengan begitu banyaknya penduduk yang harus diberikan pelayanan kesehatan dan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, maka Puskesmas Padamara dibantu oleh tiga Puskesmas Pembantu (Pustu) yakni: Pustu Karang Gambas, Pustu Karang Sentul, dan Pustu Karang Jambe. Kemudian agar jangkauan pelayanan Puskesmas lebih merata dan meluas, Puskesmas Padamara ditunjang oleh adanya PKD (Poliklinik Kesehatan Desa) yang tersebar di sebelas desa.
            Secara umum, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (upaya pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan), dan rehabilitasi (pemulihan kesehatan).
Sedangkan Puskesmas Padamara sendiri memiliki program pelayanan sebagai berikut:
1.      Kesehatan Ibu dan Anak
2.      Keluarga Berencana (KB)
3.      Usaha Perbaikan Gizi
4.      Kesehatan Lingkungan
5.      Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6.      Pengobatan termasuk pelayanan darurat
7.      Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
8.      Kesehatan Kerja
9.      Kesehatan Gigi dan Mulut
10.  Kesehatan Jiwa
11.  Kesehatan Mata
12.  Laboratorium
13.  Pencatatan dan pelaporan dalam rangka sistem informasi kesehatan
14.  Kesehatan Usia Lanjut (Posyandu Lansia)
15.  Pembinaan Pengobatan tradisonal
16.  Merawat sementara penderita gawat darurat
17.  Melakukan metode operasi pria dan wanita untuk KB

Dari 17 program yang telah ditetapkan oleh puskesmas, tidak semua dapat terlaksana dengan baik. Hal ini dapat ditunjukkan pada program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, misal TBC. Data terbaru yang diperoleh bahwa dari kasus suspek sebanyak 235 orang di wilayah Kecamatan Padamara telah dinyatakan positif TBC sebanyak 46 orang. Namun, yang mau diobati di puskesmas hanya 29 orang dan yang kini dinyatakan sembuh hanya 19 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa pelayanan Puskesmas pada program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular belum terlaksana secara efektif. Lalu pada program penyuluhan kesehatan masyarakat, puskesmas belum dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal. Misal masalah pentingnya jamban. Hasil survey yang dilakukan puskesmas diperoleh data di suatu desa masih banyak masyarakat yang belum memiliki jamban. Dari 81 rumah yang yang tersebar di 3 RW di Desa Bojanegara hanya 21 rumah yang memiliki jamban. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kurang memiliki kesadaran akan pentingnya jamban bagi kesehatan. Seharusnya puskesmas yang bekerja sama dengan kader kesehatan di desa-desa dapat memberikan penyuluhan yang baik sehingga tercipta kesadaran masyarakat. Dari informasi di atas dapat diindikasikan bahwa puskesmas belum efektif dalam menjalankan program yang telah ditetapkan. Jadi dapat dikatakan bahwa efektivitas pelayanan Puskesmas Padamara belum baik.
Selain memiliki berbagai program pelayanan kesehatan seperti yang telah disebutkan di atas, Puskesmas Padamara sebagai unit penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat memiliki visi yakni “Kecamatan Sehat 2010”, sesuai dengan visi Indonesia Sehat 2010. Lalu untuk mewujudkan visinya tersebut, Puskesmas Padamara mengemban tiga misi utama, yaitu:
1.      Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan
2.      Memberdayakan masyarakat dan keluarga di bidang kesehatan
3.      Memberikan pemeliharaan kesehatan dan pelayanan medis yang merata dan bermutu
Untuk melaksanakan berbagai program pelayanan dan mewujudkan visi dan misinya tersebut, maka Puskesmas Padamara dituntut agar dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara efektif. Jadi, efektivitas pelayanan Puskesmas dapat dimaknai sejauh mana pelayanan yang telah dilakukan oleh para pegawai Puskesmas dapat mewujudkan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Putra dan Arif (2000:21) bahwa efektivitas pelayanan publik bisa dilihat dari tingkst keberhasilan pelayanan yang telah diberikan pada publik sesuai dengan tujuan atau sasaran pelayanan itu sendiri. Terwujudnya suatu efektivitas pelayanan dalam sebuah organisasi tentunya tidak terlepas dari adanya fasilitas yang mendukung. Fasilitas yang tersedia di Puskesmas Padamara adalah sebagai berikut:
1.      Ruang rawat inap (3 kamar, kelas 1,2 dan 3)
2.      Ruang IGD dan IGD KIT, dilengkapi dengan kursi roda
3.      Kamar bersalin
4.      Ruang radiologi
5.      Puskesmas Keliling berupa kendaraan
6.      Ruang Laboratorium
7.      Kamar periksa rawat jalan
8.      Apotek Puskesmas
9.      Incenerator (tempat pembuangan limbah cair)
10.  Ruang tunggu pasien
11.  Gudang obat
12.  Ruang KIA-KB
13.  Ruang imunisasi
14.  Ruang periksa gigi dan mulut
15.  Ruang administrasi
16.  Loket
17.  Aula
18.  Dapur
19.  Mushola

Dari daftar fasilitas yang dimiliki oleh Puskesmas Padamara seperti yang terlihat di atas, seharusnya Puskesmas Padamara dapat memberikan pelayanan secara efektif kepada masyarakat karena fasilitas yang lengkap tentunya dapat menunjang kegiatan yang dilaksanakan Puskesmas. Namun, tidak hanya kelengkapan fasilitas saja yang dapat menunjang kegiatan Puskesmas dalam mencapai efektivitas pelayanan, melainkan banyak faktor lain yang ikut andil di dalamnya.
            Mengingat Puskesmas sebagai organisasi publik yang di dalamnya terdiri dari individu-individu atau pegawai-pegawai yang memiliki fungsi masing-masing, maka dalam melaksanakan berbagai program pelayanan yang telah ditetapkan guna mewujudkan efektivitas pelayanan, Puskesmas perlu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kesatuan tindakan atau aktivitas kerja seluruh personel atau anggota organisasi. Hal ini dapat dilaksanakan melalui koordinasi diantara para pegawai di Puskesmas. Koordinasi yang dilaksanakan Puskesmas diantaranya melalui pertemuan-pertemuan rutin sebagai berikut
           
Tabel 1. Jenis Pertemuan Rutin Puskesmas Padamara
NO
JENIS PERTEMUAN
TANGGAL PELAKSANAAN
MATERI
1
Rapat karyawan/karyawati Puskesmas
21 Februari 2006
-Persiapan PIN Polio putaran IV
-Kegiatan pelayanan kesehatan bersama mahasiswa KKN Unsoed
-Penyampaian tentang kearsipan dan kepegawaian


2
Lokakarya mini karyawan/karyawati
29 Maret 2006
-UKS dan Gizi
-UKK (Usaha Kesehatan Kerja)

3
Rapat karyawan/karyawati Puskesmas
6 April 2006
-Program imunisasi
-Program ketenagaan
4
Rapat karyawan/karyawati Puskesmas
10 Mei 2006
Saka Bhakti Husada (SBH)
5
Rapat karyawan/karyawati Puskesmas
3 Juni 2006
-Sosialisasi tentang PSM
-Penyampaian tentang kepegawaian
6
Rapat karyawan/karyawati Puskesmas
20 Juli 2006
-imunisasi
-Bidan desa
-Laboratorium Puskesmas
7
Rapat karyawan/karyawati Puskesmas
8 Agustus 2006
- pengurus IGD dan rawat inap

8
Rapat karyawan/karyawati Puskesmas
12 Agustus 2006
-Materi tentang rawat inap dan IGD

9
Rapat karyawan/karyawati Puskesmas
19 September 2006
-UKS dan Gizi
imunisasi
           

            Sumber: Arsip Puskesmas Padamara, 2007
Dari tabel di atas, terlihat bahwa Puskesmas telah melaksanakan koordinasi melalui pertemuan rutin yang dilaksanakan tiap bulan. Dengan adanya koordinasi antarpegawai, maka program pelayanan yang telah ditetapkan Puskesmas dapat dilaksanakan secara efektif. Tanpa adanya koordinasi dalam pelaksanaan kerja atau program pelayanan akan mengakibatkan kekacauan, kekembaran kerja, pemborosan, atau  kekosongan kerja karena masing-masing pegawai atau unit kerja di Puskesmas akan saling melemparkan tanggung jawabnya kepada orang lain. Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya proses tercapainya tujuan organisasi atau dengan kata lain akan menghambat efektivitas pelayanan yang diselenggarakan Puskesmas.
Selain koordinasi sebagai unsur esensial dalam mewujudkan efektivitas pelayanan Puskesmas, ada faktor lain yang tidak kalah penting dan dapat mempengaruhi efektivitas pelayanan Puskesmas. Mengingat setiap organisasi termasuk juga Puskesmas terdiri dari individu-individu yang saling bekerja sama demi tercapainya tujuan organisasi, maka SDM merupakan unsur terpenting dalam organisasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moenir (1987:74) bahwa pekerja atau pegawai sebagai unsur utama dalam organisasi memegang peranan yang menentukan. Pegawai ini demikian penting sehingga semua unsur organisasi kecuali manusia tidak akan berfungsi tanpa ditangani oleh pegawai. Oleh karena itu, setiap pegawai harus punya kemampuan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan organisasi. Menurut Steers (1985:147) kemampuan pegawai dapat mempengaruhi prestasi kerja dalam berbagai cara.
Kemampuan pegawai yang akan berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsi atau tugas yang diembannya masing-masing dapat diperoleh dari pendidikan formal, pelatihan keahlian, dan pengalaman yang dimiliki. Adapun SDM yang dimiliki oleh Puskesmas Padamara dapat ditunjukkan dengan tabel berikut.






                Tabel 2. Daftar Pegawai Puskesmas Padamara
NO
JABATAN
GOL/RUANG
PENDIDIKAN TERAKHIR
1
KA.PUSKESMAS PADAMARA
IIIC
S.KED GIGI
2
KA.PUSTU KR SENTUL
IIIB
SPK
3
BIDAN
IIIC
DI KEBIDANAN
4
SIK/BENDAHARA RUTIN
IIIB
SMEA
5
DOKTER UMUM
IIIB
S.KED UMUM
6
KA.PUSTU KR JAMBE
IIIB
DIII/AKPER
7
PETUGAS PKM
IIIB
DIII/KESLING
8
PERAWAT
IIIA
S.KM
9
PETUGAS PKL
IIIA
SPPH
10
KA.PUSTU KR GAMBAS
IIIA
DIII/AKPER
11
PETUGAS IMUNISASI
IIIA
SMA
12
TATA USAHA
IIIA
S.SOS
13
PERAWAT
IIIA
DIII/AKPER
14
BIDAN KOORDINATOR
IIIA
BIDAN
15
PETUGAS GIZI
IIIA
DI GIZI
16
BIDAN DESA
IID
BIDAN
17
BIDAN DESA
IID
BIDAN
18
TATA USAHA
IID
SMA
19
PENGELOLA OBAT
IID
SMA
20
PERAWAT GIGI
IIC
SPRG
21
PERAWAT
IIC
SPK
22
PERAWAT
IIC
DIII/AKPER
23
PERAWAT
IIA
SPK
24
PETUGAS LABORAT
IIA
SMAK
25
PEKARYA
IC
SD
26
BIDAN DESA
IIA
DI
27
BIDAN PTT

DI
28
BIDAN PTT

DI
29
BIDAN PTT

DI
30
BIDAN PTT

DI
31
BIDAN PTT

DI
32
BIDAN PTT

DI
33
BIDAN PTT

DI
34
PENGABDIAN

SMA
35
PENGABDIAN

DIII
36
PENGABDIAN

AKPER
37
PENGABDIAN

AKPER
                Sumber: Bagian Kepegawaian Puskesmas Padamara, 2007
Dari tabel di atas, terlihat bahwa SDM atau pegawai yang dimiliki oleh Puskesmas Padamara masih banyak yang kurang sesuai antara jabatan atau tugas yang diemban dengan pendidikan formal yang dimiliki. Hal ini berarti apa yang dinamakan dengan the right man in the right place belum terwujud. Hal ini bisa dilihat pada petugas laborat yang seharusnya berasal dari latar belakang yang berhubungan dengan laboratorium namun ditempati oleh pegawai yang hanya berlatar belakang pendidikan SMAK. Kemudian pada jabatan pengelola obat yang seharusnya ditempati oleh seseorang yang berasal dari latar belakang pendidikan bidang farmasi, namun ditempati oleh pegawai yang hanya berlatar belakang pendidikan SMA. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan pegawai karena seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kemampuan pegawai tidaklah cukup dari pendidikan formal yang dimiliknya, malainkan juga dapat diperoleh dari pelatihan keahlian dan pengalaman kerja, maka Puskesmas Padamara mengadakan pelatihan bagi para pegawainya. Berbagai pelatihan yang telah dilaksanakan oleh para pegawai Puskesmas dapat ditunjukkan dengan tabel berikut.
           


Tabel 3. Jenis Pelatihan Pegawai Puskesmas Padamara
NO
JENIS PELATIHAN
TANGGAL PELAKSANAAN
1
-Pelatihan ketrampilan pelayanan kesehatan di PKD
-Pelatihan tenaga kesehatan penanggung jawab/pengelola PKD
5 Maret 2007
2
Pelatihan stimulasi deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang balita
13-15 Februari 2007
3
Pelatihan petugas pelaksana imunisasi
9-12 Januari 2007
4
Pelatihan pengambil sampel TSH bayi Neonatur bagi bidan desa
27 Desember 2006
5
Pelatihan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit)
5-10 November 2006
Sumber: Arsip Puskesmas Padamara, 2007
Dengan adanya pelatihan bagi pegawai, maka dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki pegawai dalam melaksanakan kerja dan fungsinya sesuai dengan keahlian dan spesifikasi kerja yang dimiliki. Sehingga para pegawai dapat melaksanakan fungsinya masing-masing secara efektif demi tercapainya tujuan organisasi.


  1. Perumusan Masalah

Dari uraian diatas terlihat bahwa efektivitas pelayanan di Puskesmas Padamara sangat penting karena puskesmas sebagai unit yang berada di tingkat kecamatan yang berfungsi menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di wilayah kerjanya. Efektivitas pelayanan ini dapat dipengaruhi oleh faktor koordinasi dan kemampuan pegawai. Maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut:
1.      Seberapa besar pengaruh koordinasi terhadap efektivitas pelayanan di Puskesmas?
2.      Seberapa besar pengaruh kemampuan pegawai terhadap efektivitas pelayanan di Puskesmas?
3.      Seberapa besar pengaruh koordinasi dan kemampuan pegawai secara bersama-sama terhadap efektivitas pelayanan di Puskesmas?

  1. Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui besarnya pengaruh koordinasi terhadap efektivitas pelayanan di Puskesmas Padamara.
2.      Untuk mengetahui besarnya pengaruh kemampuan pegawai terhadap efektivitas pelayanan di Puskesmas Padamara
3.      Untuk mengetahui besarnya pengaruh koordinasi dan kemampuan pegawai secara bersama-sama terhadap efektivitas pelayanan di Puskesmas Padamara
  1. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan memperkaya khasanah bagi perkembangan Ilmu Administrasi Negara, khususnya pada bidang pelayanan publik.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan kontribusi nyata bagi instansi terkait khususnya serta bagi pemerintah pada umumnya dalam pembangunan dan perkembangan pelayanan publik khususnya di bidang kesehatan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dan Teori
1. Efektivitas Pelayanan Puskesmas
Pembahasan masalah efektivitas akan erat kaitannya dengan kegiatan atau usaha-usaha yang diselenggarakan oleh suatu organisasi baik pemerintah maupun swasta. Efektivitas organisasi diukur dari tingkat sejauh mana ia berhasil mencapai tujuan (Etzioni, 1983:12). Sedangkan tujuan organisasi ialah keadaan yang dikehendaki pada masa yang akan datang yang senantiasa dikejar oleh organisasi agar dapat direalisasikan..
Kata efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) dapat membawa hasil atau berhasil guna (Poerwadarminta, 1976:156). Sedangkan Gibson (1989:37) mengartikan bahwa efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama. Konsep tersebut didasarkan pada pendekatan tujuan (The Goal Approach) yang bertujuan untuk menentukan dan mengevaluasi. Efektivitas didasarkan pada gagasan bahwa organisasi diciptakan untuk mencapai tujuan. Tingkat pencapaian sasaran itu menunjukkan tingkat efektivitas. Efektivitas dinilai menurut ukuran seberapa jauh sebuah organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai (Steers, 1989:6).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Robbins (1990:53) yang mendefinisikan efektivitas dari pendekatan tujuan “The goal-attainment approach states that an organization’s effectiveness must be appraised in terms of the accomplishment of ends rather than means” (Pendekatan pencapaian tujuan mengatakan bahwa keefektifan sebuah organisasi harus dinilai sehubungan dengan pencapaian tujuan ketimbang caranya). Selanjutnya dikatakan oleh Georgopualos dan Tannebaum dalam Etzioni (1969:82):
“…organization effectiveness as the extent to wich an organization as a social system, given certain resources and mean, fulfill it’s objective without in capacitating it’s means and resources and without placing stainupon it’s members”  (…efektivitas organisasi adalah tingkat sejauh mana suatu organisasi yang merupakan sistem sosial dengan segala sumber daya dan sarana tertentu yang tersedia memenuhi tujuan-tujuannya tanpa pemborosan dan menghindari ketegangan yang tidak perlu diantara anggota-anggotanya).
           
Menurut Putra dan Arif (2000:21) efektivitas pelayanan publik bisa dilihat dari tingkat keberhasilan pelayanan yang telah diberikan pada publik sesuai dengan tujuan atau sasaran dari pelayanan publik itu sendiri.
Dari beberapa pendapat mengenai efektivitas organisasi seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu organisasi yang berhasil dapat diukur dengan melihat pada sejauh mana organisasi tersebut dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Apabila suatu organisasi dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan atau telah merealisasikan visi dan misinya, maka organisasi tersebut dianggap telah berhasil dan berjalan secara efektif.
Puskesmas merupakan salah satu bentuk organisasi publik yang tujuan utamanya adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Pelayanan yang diberikan oleh puskesmas termasuk dalam bentuk pelayanan umum.Untuk memahami konsep pelayanan umum, maka akan diuraikan beberapa pendapat mengenai pelayanan umum. Konsep pelayanan menurut Moenir (2000:26):
“Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha baik melalui aktivitas sendiri maupun secara tidak langsung melalui aktivitas orang lain. Aktivitas adalah suatu proses penggunaan akal pikiran, panca indera, dan anggota badan lainnya dengan atau tanpa alat Bantu yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan baik dalam bentuk barang atau jasa. Proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inila yang dinamakan pelayanan”.

 Konsep pelayanan publik menurut Gronroos (dalam Ratminto, 2005: 2) mendefinisikan pelayanan sebagai berikut:
“Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permaslahan konsumen atau pelanggan”.

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Negara Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003, disebutkan bahwa pelayanan umum adalah:
“Segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan badan usaha milik negara /daerah dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Dari definisi pelayanan umum yang ditetapkan oleh Keputusan Menpan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Puskesmas merupakan suatu unit atau instansi pemerintah di wilayah kecamatan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan visi, misi, tujuan maupun program yang telah ditetapkan.
Puskesmas memiliki fungsi yang sangat fital karena sebagai ujung tombak pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang sehat melalui penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat di bidang kesehatan. Secara umum, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (upaya pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan), dan rehabilitasi (pemulihan kesehatan). Mengingat fitalnya fungsi Puskesmas, maka Puskesmas dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang efektif kepada masyarakat.
Dalam mendefinisikan efektivitas pelayanan publik, maka penelitian ini lebih mengambil pendapat dari Putra dan Arif yang mengatakan efektivitas pelayanan publik bisa dilihat dari tingkat keberhasilan pelayanan yang telah diberikan kepada publik sesuai dengan tujuan atau sasaran dari pelayanan publik itu sendiri. Jadi, efektivitas pelayanan Puskesmas dapat dimaknai sebagai tingkat keberhasilan Puskesmas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tujuan atau sasaran pelayanan yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan, Puskesmas Padamara telah memiliki Standart Operasional Procedure (SOP) yang digunakan sebagai acuan. Sedangkan tujuan dari pelayanan di Puskesmas Padamara dituangkan dalam bentuk program pelayanan yang terdiri dari 17 program pelayanan yang telah disebutkan di latar belakang masalah. Kemudian dari ketujuh belas program pelayanan tersebut dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu program pelayanan kesehatan ibu dan anak, program pelayanan kesehatan dan penyuluhan lingkungan, program pelayanan kesehatan umum dasar, dan program pelayanan Keluarga Berencana (KB). Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pendapat Putra dan Arif, maka efektivitas pelayanan Puskesmas dapat diukur dari sejauh mana pelayanan yang dilaksanakan oleh pegawai Puskesmas sesuai dengan Standart Operasional Procedure (SOP) dan sejauh mana ketujuh belas program pelayanan yang telah ditetapkan berhasil dilaksanakan dengan baik.
2. Koordinasi
Dalam suatu organisasi, setiap individu maupun kelompok yang berada pada unit-unit kerja memiliki tugas dan fungsi masing-masing, tetapi dalam pelaksanaannya tidak dapat saling melepaskan diri. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang efektif agar tercipta suasana kerja yang serasi dalam pencapaian tujuan. Mooney (dalam Sutarto 1993:141) mengemukakan koordinasi sebagai pengaturan kerjasama sekelompok orang secara teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya suatu tujuan bersama. Menurut George R.Terry (1960:102) “coordination is the orderly synchronization of effort to provide the proper amount, timing, and directing of execution resulting in harmonious and unified actions to a stated objective” (koordinasi adalah sinkronisasi yang teratur dari usaha-usaha untuk menciptakan kepantasan kuantitas, waktu, dan pengarahan pelaksanaan yang menghasilkan keselarasan dan kesatuan tindakan untuk tujuan yang telah ditetapkan).
Sedangkan menurut Roger C. Heimer (dalam Sutarto 1993:142) koordinasi harus ada untuk menyempurnakan banyak usaha agar pencapaian tujuan efektif. Koordinasi memungkinkan kesatuan usaha mental dan fisik dalam bermacam-macam sikap karena menciptakan kelebihan usaha yang dikoordinasikan pada sejumlah usaha individu dari para anggota organisasi.
Dengan melihat pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur koordinasi meliputi:
a.       kerjasama
b.      pengaturan
c.       sinkronisasi
d.      keselarasan
e.       kesatuan tindakan
Efektivitas organisasi dipengaruhi oleh pelaksanaan organisasi yang baik antarindividu maupun satuan organisasi. Semua anggota organisasi seyogyanya diarahkan pada pelaksanaan kerjasama dan koordinasi yang baik dalam setiap aktivitasnya. Menurut Hicks (1967:409) “The principle of coordination explain the effective organizational performance is achieved when all persons and resources are synchronized, balance and given direction” (prinsip koordinasi menerangkan bahwa pelaksanaan organisasi itu efektif apabila semua orang dan sumber disinkronkan, diseimbangkan, dan diberikan pengarahan). Manajemen bertugas untuk memanfaatkan dan mengarahkan sumber daya yang dimiliki organisasi agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Puskesmas sebagai organisasi publik terdiri dari individu-individu atau pegawai-pegawai yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing serta menjalankan tugas dan fungsinya tersebut dan saling bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan organisasi yakni memberikan pelayanan yang efektif kepada masyarakat. Maka dalam penelitian ini, konsep koordinasi yang digunakan adalah dari pendapat Mooney dan Terry. Agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif, maka diperlukan usaha untuk menciptakan kerjasama, keserasian, dan kesatuan tindakan atau aktivitas. Dengan demikian, konsep koordinasi dalam penelitian ini adalah pengaturan anggota organisasi untuk menciptakan kerjasama, keserasian, dan kesatuan tindakan atau aktivitas demi terwujudnya tujuan organisasi. Koordinasi akan mencegah adanya kekacauan, kesimpangsiuran, kekosongan maupun kekembaran kerja.
Konsep kerjasama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976) diartikan sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, maksud dari kerjasama dalam kaitannya dengan koordinasi adalah usaha yang dilakukan secara bersama-sama oleh para pegawai dalam mewujudkan tujuan organisasi. Usaha kerjasama ini dapat dilakukan antarpegawai maupun antarbagian satu dengan bagian lain.
Keserasian dalam suatu organisasi dapat diartikan bahwa semua pegawai yang berada pada bagian-bagian tertentu dan memilki tugas dan fungsi masing-masing dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik serta tidak terjadi konflik yang berkaitan dengan pekerjaan. Dengan demikian, dalam suatu organisasi yang tercipta keserasian, tidak terjadi kekosongan pekerjaan, duplikasi pekerjaan atau kekembaran kerja serta terhindar dari adanya konflik dalam organisasi tersebut.
Sedangkan kesatuan tindakan dapat diartikan bahwa seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas kerja berorientasi untuk mencapai satu tujuan organisasi yang telah ditetapkan bersama. Jadi, dalam melaksanakan aktivitas kerja para pegawai memiliki persepsi yang sama tentang tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
3. Kemampuan Pegawai
Manusia merupakan unsur terpenting dalam organisasi. Arti penting peran manusia dalam organisasi tersebut dikemukakan oleh Moenir (1987:74) “pegawai atau pekerja sebagai unsur utama dalam organisasi memegang peranan yang menentukan. Peranan ini demikian penting sehingga semua unsur organisasi kecuali manusia tidak akan berfungsi tanpa ditangani oleh pegawai”.
Mengingat demikian pentingnya unsur manusia dalam hal ini para pegawai, sebagai salah satu sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan dan keberhasilan organisasi, maka organisasi perlu mengelola dengan baik SDM (pegawai) yang ada agar memiliki kemampuan yang baik dalam melaksanakan dan meyelesaikan pekerjaan.


Konsep kemampuan itu sendiri dikemukakan oleh Moenir (1987:76) sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan kemampuan dalam hubungannya dengan pekerjaan adalah suatu keadaan pada seseorang yang secara penuh kesanggupan berdaya guna dan berhasil guna melaksanakan pekerjaan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal.

Sedangkan Gibson dkk (1989:104) mendefinisikan kemampuan bahwa kemampuan menunjukkan pada potensi yang dimiliki oleh seseorang untuk melaksanakan pekerjaan atau tugas sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Definisi lain dikemukakan oleh Gondokusumo (1983:9-12) :
Kemampuan terdiri dari dua jenis, yaitu kemampuan fisik dan mental. Kemampuan fisik maksudnya adalah keadaan fisik, keadaan kesehatan dan tingkat kekuatan serta baik buruknya fungsi biologis dari beberapa bagian tubuh tertentu. Adapun kemampuan mental adalah kemampuan mekanik, kemampuan sosial dan kemampuan intelektual serta menyangkut pula bakat, ketrampilan, dan pengetahuan.

Seperti halnya pendapat diatas, Thoha (1988:93) mengemukakan bahwa kemampuan merupakan unsur yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman. Hal ini senada dengan pendapat Nayono (1978:50) yang mengemukakan bahwa kemampuan adalah tersedianya modal, kecakapan, ketangkasan, keterampilan, dan modal lain yang dimiliki seseorang untuk berbuat banyak terhadap organisasinya. Dengan demikian, tingkat kemampuan seseorang dapat dilihat dari pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki. Keterampilan, kecakapan serta pengetahuan adalah sumber daya yang paling potensial dan dapat dikembangkan terus-menerus melalui pendidikan dan latihan.
Menurut Siagian (1986:57) kualitas dan kemampuan seseorang timbul dan berkembang melalui dua jalur utama yaitu pengalaman kerja yang diharapkan dapat mendewasakan seseorang dan kedua adalah pendidikan dan latihan yang pernah ditempuh dan diikutinya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa keterampilan, kecakapan, pendidikan, dan latihan merupakan unsur-unsur yang dapat menunjukkan tingkat kemampuan seseorang. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Katz dan Roseinzweig (dalam Thoha, 1988:22) bahwa kemampuan itu tergantung pada pengetahuan dan pendidikan. Dari beberapa pandapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan adalah keadaan pada diri seseorang yang berupa pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipelajari dan dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman sehingga berdaya guna dalam proses melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan.
Pengetahuan dan keterampilan pada umumnya diperoleh melalui proses pendidikan dan latihan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Steers (1985:169) sebagai berikut:
Pendidikan dan latihan dapat mengembangkan kemampuan pekerja bukan saja untuk menangani pekerjaan-pekerjaan saat itu tetapi juga untuk pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan tenaga mereka di masa mendatang. Artinya pendidikan merupakan investasi diri pekerja (bank bakat) yang nantinya dapat ditimbulkan apabila diperlukan.

Pendidikan dibedakan menjadi dua macam, yaitu pendidikan formal dan nonformal. Faisal (1981:51) mengemukakan pendidikan formal sebagai berikut:
1. Selalu dibagi atas jenjang yang memiliki hubungan yang hierarkhis
2. Waktu penyampaian diprogramkan lebih panjang dan lebih lama
3. Usia siswa tiap jenjang relative homogen khususnya pada jenjang permulaan
4. Para siswa biasanya berorientasi studi lewat jangka waktu yang relatif lama,  kurang berorientasi pada materi program yangbersifat praktis dan kurang berorientasi pada arah kerja
5. Merupakan respon dari hubungan umum kemudian relative jangka panjang
6. Materi jangka panjang umumnya lebih banyak bersifat akademis dan umum
7. Kridensial (ijazah dan sebagainya) memegang peranan terutama bagi penerimaan siswa pada tingkat yang lebih tinggi.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal adalah pendidikan yang aktivitas formalnya dilakukan di sekolah-sekolah yang mempunyai persyaratan yang lebih ketat dan mempunyai sitematika yang teratur.
Selanjutnya Vembrianto (1977:23) mendefinisikan pendidikan nonformal sebagai pendidikan yang teratur dengan sadar dilakukan tetapi tidak melalui peraturan yang ketat dan tetap. Dalam hal ini Faisal (1981:53) memberikan ciri-ciri pendidikan nonformal sebagai berikut:
1. Pendidikan umumnya tidak dilakukan atas jenjang
2. Waktu penyampaian diprogramkan lebih pendek
3. Usia siswa tidak perlu sama
4. Para siswa umumnya berorientasi pada studi jangka pendek
5. Merupakan respon dari kebutuhan khusus yang mendesak
6. Materi pelajaran pada umumnya lebih banyak dan bersifat praktis
7. Kridensial umumnya kurang memegang peranan penting terutama dalam penerimaan siswa

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan nonformal adalah pendidikan yang teratur secara sadar dilakukan tetapi persyaratannya tidak seketat pendidikan formal. Adapun yang termasuk pendidikan nonformal ini diantaranya kursus-kursus, penataran-penataran, lokakarya, pelatihan, dan sebagainya.
Selain itu latihan/training diperlukan untuk menambah keterampilan atau pengetahuan pegawai. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Dale Yoder (dalam Saksono, 1997:78) mengemukakan bahwa latihan dapat membantu stabilitas pegawai serta mendorongnya untuk memberikan jasanya dalam waktu yang lebih lama. Sementara itu Soedjadi (dalam Saksono, 1997:79) mengemukakan bahwa latihan dimaksudkan untuk memberikan kepuasan psikologis kepada para pegawai, mengingat peranan manusia dalam organisasi sangat penting.
Sedangkan yang dimaksud dengan keterampilan menurut Siagian (1986:53) mengemukakan bahwa:
Keterampilan adalah kemampuan teknis untuk melakukan suatu kegiatan tertentu, dapat dipelajari dan berkembang. Artinya usaha pengembangan keterampilan merupakan bagian dari pendidikan yang berarti dilakukan secara sadar, pragmatis, dan sistematis khususnya dalam berbagai bidang yang sifatnya teknis dan dalam penetapannya lebih ditujukan kepada kegiatan-kegiatan operasional.

Selain pendidikan, latihan dan keterampilan, pengalaman kerja yang dimiliki oleh seseorang dapat pula menunjukkan kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan. Poerwadarminta (1991:728) mengartikan pengalaman sebagai apa saja yang pernah diketahui, dialami, dirasakan, dan dikerjakan. Sedangkan yang dimaksud dengan kerja menurut Westra (1989:474) adalah keseluruhan aktivitas jasmaniah yang dilaksanakan oleh manusia untuk mencapai suatu tujuan atau mangandung suatu maksud tertentu terutama yang berhubungan langsung dengan kelangsungan hidupnya. Dengan demikian pengalaman kerja mengandung aktivitas tertentu yang bertujuan untuk memperoleh hasil.
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan, latihan, keterampilan dan pengalaman kerja merupakan salah satu bentuk dari peningkatan kemampuan yang dapat dilakukan di dalam organisasi maupun di luar organisasi. Hal ini berarti kemampuan pegawai tidaklah mutlak berasal dari individu pegawai itu sendiri, jika pegawai telah menjadi bagian dari organisasi maka kemampuan pegawai juga merupakan bagian dari tanggung jawab organisasi dalam mengelola pegawai tersebut serta meningkatkan kemampuan pegawai sehingga berdaya guna dalam melaksanakan pekerjaan dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.
Pegawai merupakan bagian dari organisasi dimana mereka direkrut dan ditempatkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan oleh organisasi. Jadi, baik buruknya pegawai juga tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab organisasi. Kemampuan yang dimiliki para pegawai dalam suatu organisasi merupakan bagian dari tanggung jawab organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, selayaknya suatu organisasi berupaya untuk meningkatkan kemampuan para pegawainya agar efektivitas organisasi semakin meningkat. Semakin tinggi tingkat kemampuan pegawai akan menumbuhkan prestasi kerja yang baik yang pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas organisasi.
Dari uraian tersebut, maka konteks kemampuan pegawai disini adalah kemampuan pegawai tidak hanya bersifat individual, tetapi merupakan bagian dari organisasi yang bertanggung jawab dalam mengelola para pegawainya. Dari konteks tersebut, jelas terlihat bahwa unit analisis dari variabel kemampuan pegawai adalah unit analisis organisasi.
Adapun konsep kemampuan pegawai yang digunakan adalah dari Moenir dan Thoha. Tingkat kemampuan seseorang dapat dilihat dari penegetahuan atau tingkat pendidikan, keterampilan, dan pengalaman yang dimiliki. Dengan demikian, kemampuan pegawai adalah keadaan pada diri seseorang yang berupa pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipelajari dan dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman sehingga berdaya guna dalam proses melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan. Kemampuan pegawai merupakan bagian dari tanggung jawab organisasi yang mengelolanya.
Pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan baik secara formal maupun nonformal (Faisal, 1981:51-53). Keterampilan menurut Poerwadarminta (1976) diartikan sebagai kemampuan, kesanggupan, kepandaian, atau kemahiran mengerjakan atau menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan pengalaman kerja (ibid.) diartikan sebagai apa saja yang pernah diketahui, dialami, dirasakan, dan dikerjakan. Pengalaman dalam hal ini adalah pengalaman kerja, berarti sesuatu yang pernah diketahui, dirasakan, dan dikerjakan sebagai hasil yang diperoleh selama ia bekerja. Hal ini bisa bermanfaat untuk mendukung pekerjaan yang dilaksanakannya sekarang.


4. Pengaruh Koordinasi Terhadap Efektivitas Pelayanan di Puskesmas
Puskesmas  merupakan suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional sebagai pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain, Puskesmas memliki wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya.
Para pegawai atau petugas Puskesmas yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat harus mampu melakukan koordinasi agar tercipta pelayanan yang efektif. Seperti yang dikatakan Roger C. Heimer (1958:361):
“Coordination is indispensable to the accumulation of the effort of the many in order to effectuate the overall purpose. Coordination makes possible a uniting of the mental and physical efforts in such a manner as to create a surplus of coordinated effort over the sum of the individual effort of the participant”
(Koordinasi harus ada untuk menyempurnakan banyak usaha agar pencapaian tujuan efektif. Koordinasi memungkinkan kesatuan usaha mental dan fisik dalam bermacam-macam sikap karena menciptakan kelebihan usaha yang dikoordinasikan pada sejumlah usaha individu dari para peserta. Koordinasi yang baik akan menciptakan suatu efektivitas kerja).

Adanya koordinasi yang baik akan menentukan efektivitas pelayanan yang baik pula. Koordinasi diharapkan mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Robert Livingstone (1949:169) memberikan pengertian:
“Coordination is the interrelating factors of organization. It is not difficult do organize a single activity, but to organize several into a single entity is a worthy accomplishment. Coordination is that wich makes organization “good”. It is the system of balance and checks, of stimuli and responses, that exists between and among the units of association”
(Koordinasi merupakan antar hubungan berbagai faktor organisasi. Tidak sukar mengorganisasi kegiatan tunggal, tetapi untuk mengorganisasi macam-macam kegiatan di dalam ketunggalan adalah pencapaian yang sukar. Koordinasi membuat organisasi “baik”. Ini adalah suatu sistem keseimbangan dan kontrol tantangan dan tanggapan yang ada diantaranya dan diantara satuan-satuan dalam organisasi untuk mencapai suatu efektivitas organisasi).

Faktor-faktor organisasi yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah tenaga medis, paramedis, dan tenaga nonkesehatan lainnya yang menjalankan tugas sesuai dengan fungsi masing-masing yang bertujuan untuk menciptakan efektivitas pelayanan tersebut, maka unsur-unsur organisasi atau para pegawai Puskesmas harus mampu melakukan koordinasi yang baik agar tercipta efektivitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
5. Pengaruh Kemampuan Pegawai Terhadap Efektivitas Pelayanan di Puskesmas

Telah diketahui bahwa kemampuan pegawai merupakan modal utama setiap organisasi untuk mencapai keberhasilan dalam kegiatan-kegiatan dari suatu organisasi. Tanpa adanya kemampuan pegawai yang baik atau memadai apa yang menjadi tugasnya untuk memberikan pelayanan yang efektif kepada masyarakat tidak dapat tercapai dengan baik.
Adanya kesesuaian antara pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki dengan bidang tugas yang diembannya akan mempermudah dalam pelaksanaan pekerjaan. Untuk mencapai pelayanan yang efektif diperlukan pegawai-pegawai dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.
Untuk mencapai efektivitas organisasi yang nantinya dapat mendorong ke  arah pencapaian tujuan organisasi, yaitu pemberian layanan yang berkualitas dibutuhkan pegawai yang tanggap dan mampunyai kemampuan di bidangnya. Kemampuan yang dimiliki tidak hanya terbatas pada bagaimana mereka menyelesaikan tugas-tugasnya tetapi juga kemampuan untuk bekerja sama dengan pegawai lain.
Pentingnya kemampuan pegawai dalam menentukan efektivitas organisasi juga dikemukakan oleh Steers (1985:151):
”Salah satu faktor yang dapat menyokong keberhasilan suatu organisasi adalah karakteristik pekerja yang mencakup prestasi kerja pegawai. Sedangkan prestasi kerja pegawai ditentukan pula oleh kemampuan kerja yang dimiliki masing-masing pegawai”.

Pendapat lain juga dikemukakan sebagai berikut(ibid.):

”Kemampuan masing-masing pegawai adalah berbeda, perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap efektivitas. Tanpa adanya keterikatan dan prestasi (yang di dalamnya tercakup juga kemampuan kerja pegawai) mustahil efektivitas dapat tercapai”.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kemampuan pegawai yang berupa pengetahuan atau tingkat pendidikan, ketrampilan/kecakapan dan pengalaman kerja akan mempengaruhi pelaksanaan tugas pekerjaannya yang kemudian akan berpengaruh pada usaha-usaha pencapaian tujuan organisasi yaitu pemberian layanan yang efektif dan berkualitas. Dengan kemampuan yang dimiliki, seorang pegawai akan dapat berbuat banyak dalam rangka menjamin pelaksanaan tugas dengan baik dan begitu pula sebaliknya, apabila kemampuan pegawai terbatas, maka akan terbatas pula upaya yang bisa dilakukannya untuk menjamin pelaksanaan tugas atau pekerjaannya.
B. Hasil Penelitian Terdahulu
            Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Bogikurniadi (2007) yang berjudul “Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Pengguna Kartu Askeskin di Puskesmas Padamara Kabupaten Purbalingga” menyimpulkan bahwa tingkat kualitas pelayanan bagi pengguna kartu Askeskin di Puskesmas Padamara dapat dikatakan baik menurut penilaian dari pengguna kartu tersebut.    
C. Hipotesis
            Hipotesis adalah suatu pernyataan sementara mengenai sesuatu yang keandalannya biasanya tidak bisa diketahui. Sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dapat dicapai dan diuji, maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Model Verbal
a. Hipotesis Nol (Ho)
1)Tidak ada pengaruh yang signifikan antara koordinasi terhadap efektivitas pelayanan
2)Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kemampuan pegawai terhadap efektivitas pelayanan
3)Tidak ada pengaruh yang signifikan antara koordinasi dan kemampuan pegawai terhadap efektivitas pelayanan
b. Hipotesis Kerja (Hi)
1)Ada pengaruh yang signifikan antara koordinasi terhadap efektivitas pelayanan
2)Ada pengaruh yang signifikan antara kemampuan pegawai terhadap efektivitas pelayanan
3)Ada pengaruh yang signifikan antara koordinasi dan kemampuan pegawai terhadap efektivitas pelayanan



BAB III
METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Metode Penelitian
1. Sasaran Penelitian
Sasaran dari penelitian ini adalah seluruh pegawai Puskesmas Padamara Kabupaten Purbalingga yang meliputi Kepala Puskesmas beserta para pegawainya yang terdapat dalam susunan organisasi puskesmas.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Puskesmas Padamara. Pemilihan lokasi ini karena Puskesmas Padamara sebagai salah satu puskesmas di Kabupaten Purbalingga yang telah dilengkapi fasilitas IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan rawat inap. Puskesmas ini juga sudah memiliki Standart Operasional Prosedure (SOP) sebagai pedoman dalam memberikan pelayanan. Lokasi ini juga memudahkan akses bagi masyarakat dalam mendapatkan pelayanan karena berada di tengah wilayah Kecamatan Padamara dan juga di jalur utama Banyumas-Purbalingga.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1989:3)


4. Macam-Macam Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang dioperasionalkan dalam penelitian ini adalah:
a. koordinasi sebagai variabel bebas 1 (X1)
b. kemampuan pegawai sebagai variabel bebas 2 (X2)
c. efektivitas pelayanan sebagai variabel terikat (Y)
5. Metode Penetapan Sampel
Teknik yang digunakan dalam menetapkan sampel adalah total sampling, yaitu pengambilan sampel sebesar populasi yang ada. Hal ini mengacu pada pendapat Surakhmad (1989:14) bahwa adakalanya masalah penarikan sampel ditiadakan sama sekali dengan memasukkan seluruh populasi sebagai sampel, yakni semua jumlah populasi itu diketahui terbatas. Sampel yang jumlahnya sebesar populasi itu seringkali disebut dengan total sampling.
Dengan demikian dalam penelitian ini menggunakan total sampling dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. jumlah populasi terbatas dan masih dalam jangkauan
b. dengan menggunakan total sampling, maka sampel makin representatif
c. responden adalah orang-orang yang sudah jelas diketahui
Jadi sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebesar populasi, yakni seluruh pegawai Puskesmas Padamara yang jumlahnya 40 orang.


6. Metode Pengumpulan Data
a. Kuesioner
Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis yang disertai alternatif jawaban kepada responden. Skala data yang digunakan adalah skala ordinal/rangking dimana nilai sebenarnya tidak diketahui. Responden akan diminta untuk memberikan respon atas pertanyaan yang diajukan dengan nilai pada alternatif jawaban yaitu 1 sampai 3.
b. Observasi
Observasi dilakukan dengan mengamati tempat dan peristiwa yang terjadi di lapangan sehingga diperoleh gambaran atau fenomena yang terjadi yang dapat digunakan sebagai data.
c. Dokumentasi
Yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber atau buku, literatur, dokumen, arsip serta berbagai tulisan ilmiah guna melengkapi data primer yang diperoleh.
7. Jenis Data
a. Data primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari responden melalui kuesioner
b. Data sekunder
Yaitu data yang diperoleh melalui observasi dan dokumentasi yang dapat digunakan untuk melengkapi data primer.


8. Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian
a. Validitas Instrumen Penelitian
Validitas instrumen menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur (instrumen) penelitian dapat mengukur apa yang ingin diukur. Sekiranya peneliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data, maka kuesioner yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah kuesioner tersebut tersusun dan teruji validitasnya, dalam praktek belum tentu data yang terkumpulkan adalah valid. Oleh karena itu pengujian validitas sangat diperlukan (Singarimbun dan Efendi, 1995:24).
Secara teknis, pengujian validitas ini dilakukan dengan analisis item yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir.
Dalam analisis ini, Singarimbun mengatakan (dalam Sugiyono, 1997:93) bahwa:
“Teknik korelasi untuk menentukan validitas item ini, sampai sekarang merupakan teknik yang paling baik digunakan. Dalam memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi, item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasinya yang tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Korelasi yang digunakan adalah korelasi product moment”.

b. Realibilitas Instrumen Penelitian

Realibilitas adalah index yang menunjukkan sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan  (Singarimbun,1997:14). Adapun teknik realibilitas yang akan digunakan adalah Spearman-Brown (Azwar, 2000:68-69) dan rumusnya adalah sebagai berikut:
S-B = rxx =
Dimana : rxx = koefisien relibilitas Spearman-Brown
               r1.2= koefisien korelasi antara kedua belahan
Umumnya, untuk memperoleh dua belahan tes yang relatif paralel satu sama lain dalam penggunaan formula Spearman-Brown, dilakukan cara pembelahan gasal-genap dikarenakan cara itulah diharapkan akan diperoleh belahan yang paralel seperti yang dikehendaki.
Skor yang diperoleh subyek dalam test dihitung terpisah untuk masing-masing belahan, sehingga tiap subyek memperoleh dua skor. Kemudian distribusi skor subyek pada masing-masing belahan dikorelasikan. Estimasi realibilitas tes diperoleh dengan mengenakan formula Spearman-Brown pada koefisien korelasi antara kedua belahan tersebut.

B. Analisis Penelitian
1. Definisi Konsep dan Operasional
a. Efektivitas Pelayanan
Efektivitas pelayanan dalam penelitian ini dapat dimaknai sebagai tingkat keberhasilan Puskesmas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tujuan atau sasaran pelayanan yang telah ditetapkan.


Dimensi dan Indikator:
1)      Tingkat Kesesuaian Pelayanan dengan SOP (Standart Operasional Procedure), dapat diukur dengan indikator:
a)Tingkat pengetahuan pegawai tentang SOP
b)Kepatuhan pelayanan kepada SOP
2)      Tingkat terlaksananya program-program pelayanan kesehatan, dapat diukur dengan indikator:
a)Tingkat terlaksananya program pelayanan Ibu dan Anak
b)Tingkat terlaksananya program pelayanan kesehatan dan penyuluhan lingkungan
c)Tingkat terlaksananya program pelayanan kesehatan umum dasar
d)Tingkat terlaksananya program pelayanan Keluarga Berencana (KB)
b. Koordinasi
Koordinasi adalah pengaturan anggota organisasi untuk menciptakan kerjasama, keserasian, dan kesatuan tindakan atau aktivitas demi terwujudnya tujuan organisasi.
Dimensi dan Indikator:
1) Tingkat kerja sama, dapat diukur dengan indikator:
a) frekuensi kerja sama antarpegawai
b) frekuensi kerja sama antarbagian yang satu dengan bagian yang lain
2) Keserasian antaraktivitas, dapat diukur dengan indikator:
a) frekuensi kekosongan pekerjaan
b) tingkat duplikasi pekerjaan
c)  frekuensi terjadinya konflik antarpegawai
d) frekuensi terjadinya konflik antarunit pelaksana akibat ketidakjelasan tugas
e) keterlibatan pegawai dalam penanggulangan konflik
3) Kesatuan tindakan, dapat diukur dengan indikator:
a) kesamaan persepsi tentang tuigas-tugas yang harus dijalankan
b)tingkat pencapaian tujuan yang sama dalam melaksanakan pekerjaan        c.Kemampuan Pegawai
Kemampuan pegawai adalah keadaan pada diri pegawai yang berupa pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipelajari dan dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman sehingga berdaya guna dalam proses melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan. Kemampuan pegawai merupakan bagian dari tanggung jawab organisasi yang mengelolanya.
Dimensi dan Indikator:
1) Pengetahuan atau tingkat pendidikan, dapat diukur dengan indikator:
a) kesesuaian latar belakang pendidikan formal dengan pekerjaan
b) frekuensi pegawai dalam mengikuti pendidikan nonformal
2) Keterampilan pegawai, dapat diukur dengan indikator:
a)Kemampuan pegawai dalam menyelesaikan masalah
b)Tingkat penguasaan pegawai terhadap teknik dan prosedur pelaksanaan pekerjaan


3) Luasnya pengalaman kerja pegawai, dapat diukur dengan indikator:
a) Lamanya pegawai bekerja pada organisasi (Puskesmas)
b) Pengalaman kerja pada instansi lain
c) kontribusi pengalaman kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sekarang
2. Metode Analisis
Untuk menganilis penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan:
a. Distribusi Frekuensi
Distribusi frekuensi adalah penyajian data yang berasal dari sampel penelitian yang telah dikumpulkan. Tabel distribusi frekuensi disusun bila jumlah data yang akan disajikan cukup banyak, sehingga bila disajikan dalam bentuk tabel bisa menjadi tidak efisien dan tidak komunikatif.
b. Korelasi Spearman Rank
Digunakan untuk mengetahui kesesuaian penilaian anatar dua sumber data yang berbeda dalam menilai suatu variabel yang sama. Dalam teknik ini sumber data untuk kedua variabel yang akan dikonversikan dapat berasal dari sumber yang tidak sama, data yang dikorelasikan adalah data ordinal, serta data dari kedua variabel tidak harus membentuk distribusi normal.
Rumusnya adalah : ρ = 1-
Ρ = korelasi spearman rank
bi = selisih antara rangking penilaian sumber data 1 dengan penilaian untuk sumber data 2
Uji signifikansi menggunakan rumus : Zh =  (Sugiyono, 2002:229)
c. Korelasi Kendal Tau (τ)
Digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan hipotesis asosiatif dua variabel atau lebih dengan data yang dikorelasikan adalah data ordinal.
Rumus dasar yang digunakan adalah :
 dimana 
τ = korelasi koefisien kendal tau yang besarnya (-1<0<1)
A = jumlah rangking atas
B = jumlah rangking bawah
N = jumlah anggota sample
Uji signifikansi koefisien korelasi menggunakan rumus Z sebagai berikut:
Z =  (Sugiyono, 2002:238)
d. Koefisien Konkordansi Kendall (W)
Fungsinya adalah untuk mengetahui derajat asosiasi antara variabel bebas pertama dan kedua secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Pengukuran ini dapat bermanfaat dalam mempelajari reliabilitas saling menentukan dan menguji (Siegel, 1997:292). Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
W =
Keterangan:
W = koefisien konkordansi Kendall W
K = banyaknya variabel yang diobservasi (banyaknya rangking penjenjangan)
N = jumlah objek
S = jumlah kuadrat defisiasi
T = menjumlahkan harga T untuk ke semua k rangking. Rumus : T, dimana T = faktor koreksi
e. Regresi Ordinal
Analisa regresi adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji atau mengetahui prediksi dan besarnya pengaruh prediktor terhadap kriteria, dengan kata lain analisa ini dapat meramalkan bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel terikat bila variabel bebas sebagai variabel prediktor dimanipulasi (dinaik turunkan nilainya). Analisis regresi bermanfaat untuk menggambarkan hubungan sebab akibat antara satu atau beberapa variabel explanatory (X) dengan satu variabel respon (Y).
Teknik regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik regresi ordinal. Teknik regresi ordinal digunakan bila variabel ayng dianalisis memiliki skala pengukuran ordinal. Adapaun persamaan Ordinal Regression Model atau disebut Cumulative Logit Model atau juga Proportional Odds Model, atau Mc Cullagh’s Grouped Continous Model adalah sebagai berikut:
log
Keterangan:
j = cutt-off point
Exp () = rasio odds yang homogen pada semua titik cut-off
Proportional Odds Model (PO) adalah model regresi ordinal yang paling sering digunakan. PO Model memiliki ciri sebagai berikut:
(1) model menjadi stabil pada kondisi timbal balik dari kategori dimana hanya tanda koefisien regresi yang berubah
(2) koefisien regresi tidak berubah bila kategori respon dimampatkan atau definisi kategori berubah
(3) model ini menghasilkan koefisien regresi yang paling mudah untuk ditafsirkan.
Untuk melihat apakah model regresi ordinal sesuai dengan data dapat dilihat dari hasil perhitungan Goodness of Fitt Chi Squar. Model regresi ordinal yang sesuai dengan data bisa digunakan untuk penaksiran koefisien regresi ordinal, estimasi ke depan.
3. Kriteria Penerimaan Hipotesis
Dalam penelitian, ada dua kemungkinan yaitu menerima atau menolak hipotesis. Terdapat dua hipotesis yaitu hipotesis nol yang disimbolkan dengan Ho dan hipotesis kerja yang disimbolkan dengan Hi. Untuk dapat menentukan menerima Ho atau menerima Hi pada masing-masing uji statistik adalah dengan langkah sebagai berikut:
a. Distribusi Frekuensi
Melalaui distribusi frekuensi dapat diketahui persebaran jawaban yang diberikan oleh responden. Langkah menyususn distribusi frekuensi dimulai dengan mengurutkan data individual, menentukan banyaknya kelas, mencari interval kelas dan mencari frekuensi tiap kelas.
b. Korelasi Kendall Tau
Apabila nilai z hitung lebih besar dari z tabel, maka Ho ditolak dan Hi diterima. Sebaliknya, jika nilai z hitung lebih besar dari z table, maka Ho diterima dan Ha ditolak.
c. Regresi Ordinal
Test signifikansi yang digunakan adalah 5% atau taraf kepercayaan sebesar 95%. Menurut Sutrisno Hadi bahwa menolak hipotesis atas dasar signifikansi 5% sama halnya menolak hipotesis atas dasar kepercayaan 95%. Hal ini berarti resiko salah dalam mengambil keputusan sebanyak-banyaknya 5% dan benar dalam mengambil keputusan sekurang-kurangnya 95%. Untuk menerima dan menolak hipotesis dilakukan dengan menguji apakah korelasi yang dihasilkan anatar dua variabel signifikan atau tidak. Jika signifikan berarti hipotesis diterima dan jika tidak signifikan berarti hipotesis ditolak (dalam Soetrisno Hadi, 1980:56)


















4 komentar:

  1. Assalamualaikum,
    kak maaf boleh minta alamat email penulis skripsi ini? Buat melengkapi skripsi saya kak. Terima kasih.

    BalasHapus
  2. minta daftar pustakanya dong

    BalasHapus
  3. minta daftar pustakanya dong
    makasih

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum
    Min boleh minta alamat email penulis?

    BalasHapus