Selasa, 29 Maret 2011

MEMPERTANGGUNGJAWABKAN SUARA HATI DALAM ETIKA ADMINISTRASI NEGARA.

1.      Rasionalitas Suara Hati
a.         Suara hati adalah kesadaran kewajiban kita dlam situasi konkret.jadi yang dilakukan oleh suara hati adalah memberikan sebuah penilaian moral. Dalam setiap sapaan suara hati termuat penilaian. Penilaian moral pada hakikatnya merupakan masalah perasaan belaka, dan suatu perasaan memang tidak dapat disebut benar atau salah dank arena itu juga tidak masuk akal,kalau dituntut pertanggungjawaban. Oleh akrena itu anggapan mereka disebut emotivisme (dari kata “emotion”, perasaan). Menurut emotivisme penilaian hanya mengungkapkan perasaan seseorang atau kelompok orang. Misalnya penilaian bahwa “membunuh itu jahat”. Pembunuhan sendiri memang merupakan sebuah fakta yang terjadi atau tidak, dapat direkonstruksikan dan sebagainya. Tetapi bahwa pembunuhan itu dinilai sebagai tidak baik tidak menambahkan sesuatu pada peristiwa itu. Penilaian itu hanya mengungkapkan bahwa orang tidak setuju dengan peristiwa itu atau merasa jijik. Begitu pula menurut emotivisme hal suara hati dan penilaian moral pada umumnya. Penilaian itu tidak benar atau salah, melainkan sekedar ungkapan sikap orang terhadap suatu peristiwa. Dan sikap itu adalah urusan kita masing-masing. Jadi penilaian moral tidak bersifat objektif. Maka tidak mungkin diberi pertanggungjawaban rasional dan objektif. Salah satu implikasi emotivisme ialah bahwa dengan demikian etika normative tak punya pekerjaan.

b.         Pertanggungjawaban penilaian moral.
Penilaian moral bukan sekedar masalah perasaan, melainkan masalah kebenaran objektif. Kalau ada perbedaan pendapat moral,kita tidak berdebat tentang perasaan kita, melainkan tentang apa yang secara objektif menjadi kewajiban kita apa tidak.fakta bahwa penilaian-penilaian moral diperdebatkan dengan argumentasi objektif, dan bahwa kedua belah pihak sependapat, bahwa hanya satu dari dua pendapat yang dapat betul (meskipun mereka tidak sependapat tentang pendapat mana yang betul) memperlihatkan bahwa penilaian moral bersifat rasional dan objektif.
c.         Berlaku universal
Penilaian moral tidak pernah hanya mengenai masalah konkret yang dihadapi, melainkan selalu mengandung klaim keberlakuan universal. Inilah sebabnya kita tidak dapat menerima, bahwa dalam masalah moral dua pendapat yang saling bertentangan sama-sama benar.
Universalitas kesadaran moral idalah bahwa seharusnya setiap orang dalam situasi saya sependapat dengan saya. Atau, bahwa apa yang dalam suara hati saya sadari sebagai kewajiban saya merupakan kewajiban bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang sama dengan saya,
d.        Bagaimana mempertanggungjawabkan suara hati?
Karena suara hati bukan hanya masalah perasaan belaka, dank arena suara hati mengklaim rasionalitas dan objektivitas,maka ia harus dipertanggungjawabkan. Rasionalitas menuntut agar setiap pendapat, anggapan, sikap, tuntutan, harapan, penilaian dan kepercayaan harus dulu dibuktikan kebenarannya, seakan-akan hitam atas putih, sebelum kita menerimanya. Rasionalisme itu tidak mungkin terlaksana dan juga tidak perlu. Tidak mungkin karena mustahil kita mencari bukti dulu setiap kali kita mau percaya pada orang lain dan memutuskan sesuatu berdasarkan nasihat-nasihat yang kita terima. Seperti kita tidak bisa memastikan apa setiap jembatan yang mau kita lewati, masih kuat. Dan rasionalisme tidak perlu, karena dua alasan. Pertama, kita masing-masing bukan manusia pertama di dunia ini dan tidak hidup sendirian di dalamnya. Maka tak perlu dan tak juga mungkin kita mau memastikan semua hal sendiri. Terpaksa kita percaya pada orang lain dan mendasarkan diri pada pelbagai tradisi yang memuat pengalaman generasi-generasi yang mendahului kita. Kedua, rasionalitas atau pengertian manusia yang sebenarnya adalah yang lebih mendalam  daripada sekedar akal yang kita pergunakan dalam pelbagai pertimbangan praktis atau konkret sehari-hari. Rasionalitas manusia yang sebenarnya bersumber pada lapisan-lapisan kepribadian kita yang lebig mendalam, yang di bawah sadar, dimana semua kesan yang kita peroleh bersama dengan segala macam pertimbangan  yang terus-menerus kita adakan dipersatukan, disimpan dan diolah. Dari dimensi kedalaman ini rasionalitas kita mendapat arah yang sebenarnya. Kesadaran pasca rasional ini sering kali lebih boleh kita percayai daripada kegiatan akal rasional yang dangkal, yang kita pergunakan untuk membuat kalkulasi atau menjawab soal ujian. Hal yang sama dapat juga dirumuskan begini: pendekatan rasional tidak menuntut agar setiap langkah kita pastikan dulu keamanannya sebelum kita mengambilnya, melainkan hanya agar kita mempertanggungjawabkan langkah-langkah kita kalau memang ada alasan-alasan nyata yang membuat kita menjadi ragu-ragu. Hal yang sama harus kita terapkan pada pertanggungjawaban suara hati. Yang dituntut rasionalitas, bukan rasionalisme. Yang  perlu adalah keterbukaan. Selama tidak ada alasan untuk meragukan suatu penilaian moral, tak perlu kita mempersoalkannya.tetapi apabila kita mulai merasa ragu-ragu, atau ada alasan untuk mempersoalkan suatu anggapan moral, atau ada yang mengajukan sangkalan, kita harus mempertanggungjawabkannya. Jadi pertanggungjawaban rasional suara hati tidak berarti, bahwa kita harus terbuka bagi setiapargumen, sangkalan, pertanyaan dan keragu-raguan dari orang lain atau dari dalam hati kita sendiri.

2.      Mengambil Keputusan
a.         Sebelum keputusan diambil
Selalu ada waktu sebelum sebuah keputusan harus diambil. Waktu itulah yang harus dipergunakan untuk menjamin sedapat-dapatnya agar keputusan yang akan diambil betul-betul setepat dan sebaik mungkin. Dalam persiapan pengambilan keputusan itulah rasionalitas kesadaran moral harus memainkan peranannya.
Yang dibutuhkan adalah sikap terbuka.terbuka berarti: bersedia untuk membiarkan pendapat sendiri dipersoalkan. Biasanya sebelum kita mengambi keputusan, sudah ada kecondongan dalam hati kita ke salah satu arah. Meskipun demikian,kita tidak boleh puas dengan pendapat atau kecondongan kita semula, melainkan secara kritis dan terbuka harus mencari, apa yang paling baik untuk diputuskan.
Untuk itu kita harus mencari semua informasi yang diperlukan untuk memberikan penilaian yang tepat. Kita harus mempelajari masalahnya. Kita harus memperhatikan pendapat-pendapat utama yang terdapat mengenai masalah yang harus kita putuskan. Terutama kita harus terbuka terhadap pandangan yang berbeda dengan pandangan kita. Kita harus mempertimbangkan argument pro dan contra, mana yang lebih kuat.                          
Sebelum kita mengambil sebuah keputusan kita selalu harus  bersikap terbuka. Kita harus betul-betul berusaha untuk menemukan keputusan mana yang paling tepat. Kita harus terbuka terhadap pandangan orang lain, terutama orang yang terkena oleh keputusan yang akan kita ambil, tetapi pada prinsipnya terhadap pendapat siapa saja yang releva. Kita harus seperlunya bersedia untuk memikirkan pendirian kita sendiri kembali dan bahkan untuk mengubah pendapat kita.kita tidak berhak untuk ngotot pada apa yang kita sebut keyakinan atau suara hati kita. Kita harus mencari segala informasi yang relevan dan memperhatikan serta menanggapi pendapat dan sangkalan orang lain. Seperlunya kita mencari nasihat. Dengan demikian kita telah melakukan apa yang perlu agar keputusan yang akan kita ambil setepat mungkin sejauh tegantung pada kita.     
b.         Mengambil keputusan
Kalau saat sebelum keputusan diambil adalah saat tuntutan rasionalitas suara hati, maka saat keputusan diambil berada di bawah tuntutan kemudahannya.keputusan harus selalu diambil menurut apa yang pada saat itu disadari sebagai kewajiban. Jadi menurut suara hati, pada saat keputusan harus diambil,kita harus mengikuti suara hati kita. Kita selalu mengambil keputusan sesuai dengan keinsafan kita pada saat itu. Jadi tidak sesuai dengan pandangan orang lain, dengan suatu tuntutan ideologis, engan suatu perasaan,melainkan sesuai dengan apa yang ada pada saat itu didasari sebagai kewajiban saya, entah sesuai atau tidak dengan pendapat orang lain.
c.         Pertimbangan sampai sekarang dapat menimbulkan kesan,seakan-akan pada saat keputusan harus diambil, suara hati kita selalu mengatakan dengan jelas apa yang wajib kita putuskan. Dalam kenyataan sering tidak demikian adanya.sering kali kita ragu-ragu tentang apa yang harus kita lakukan, kadang-kadang sampai sat dimana keputusan harus diambil. Justru orang yang bersikap sunguh-sungguh dan bersedia untuk melakukan apa yang merupakan tanggung jawabnya menyadari betapa kompleks situasi kehidupan manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar