Kamis, 24 Maret 2011

SKRIPSI GOOD GOVERNANCE DALAM PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KECAMATAN

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah

Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir 1980-an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank Dunia bahwa apapun dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis tanpa bekas dan tidak dapat membawa negara-negara tersebut ke keadaan yang lebih baik. Sejak saat itu, good governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention. Bahkan, PBB melalui The Committee Development Planning pada tahun 1992 telah mengeluarkan laporan yang mengidentifikasi problem dan tantangan dalam mewujudkan good governance.
Good governance tidak bisa diwujudkan antara lain disebabkan adanya sistem kekuasaan yang tersentralisir, autokratik dengan birokrasi yang tidak efisien; disub-ordinasikannya institusi hukum, birokrasi, dan lembaga pelayan publik oleh kepentingan elite dan penguasa tertentu, sehingga mendorong munculnya praktik korupsi dan lemahnya akuntabilitas publik; kompetensi pengetahuan dan keterampilan para pejabat di berbagai jabatan publik dan politik amat rendah; serta tidak adanya partisipasi dan organisasi masyarakat sipil yang cukup kuat dalam proses pembangunan.
Good governance di Indonesia muncul di era reformasi. Hal tersebut muncul karena tuntutan terhadap keadaan pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada presiden, baik akibat konstitusi (UUD 1945) maupun tidak berfungsi dengan baik lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan control social. Namun hingga saat ini good governance belum mampu berjalan dengan baik. Masih banyak yang belum paham apa yang dimaksud dengan good governance.
Menurut Bank Dunia (dalam Sulistiyani,2004.21), pengertian good governance adalah:
Suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efesien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi aktivitas usaha.

United Nation Development Program (UNDP) mendifinisikan good governance sebagai “the exercice of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels” (LAN,2000). Mendasarkan pada definisi good governance menurut UNDP tersebut dijelaskan bahwa governance memiliki tiga kaki (three legs), yaitu  economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekoomi; political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, dan  administrative governance adalah system implementasi proses kebijakan.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dapat diwujudkan dengan salah satu turunan operasional dari good governance, yaitu multi-stakeholder processes atau forum lintas pelaku. Yang menjadi inti dari muti-stakeholder adalah adanya pemerataan, keadilan, prinsip demokrasi, dan adanya partisipasi dari seluruh pihak. Dimana dalam menciptakan good governance melalui multi-stakeholder ini pihak pemerintah, swasta, serta masyarakat harus saling menopang dan menjalankan fungsinya dengan baik.
Di Indonesia pemerintah berusaha untuk mewujudkan good governance dengan cara mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut maka dalam perencanaan pembangunan terjadi perubahan yang sebelum undang-undang tersebut ditetapkan, perencanaan pembangungan bersifat top down dimana banyak mengabaikan kepentingan local sehingga banyak aspirasi masyarakat diabaikan. Sehingga masyarakat tidak dapat menikmati hasil pembangunan. Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 ini perencanaan pembangunan bersifat bottom up yang menekankan partisipasi dari banyak pihak. Sehingga pembangunan dapat dirasakan oleh banyak pihak seperti masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah.
Keterlibatan dari banyak pihak dalam perencanaan pembangunan didaerah dapat diwujudkan melalui suatu Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang itu sendiri adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah. Musrenbang juga menjadi wadah  penyusunan dokumen rencana pembangunan dan koordinasi antarinstansi pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan.
Musrenbang dilaksanakan dimulai dari tingkat desa/kelurahan yang disebut Musyawarah Perencanaan Pembangunan Tingkat Desa/Kelurahan (Musrenbang Desa/Kelurahan). Dalam Musrenbang Desa/Kelurahan diawali melalui penggalian gagasan ditingkat dusun yang bersifat partisipatif dan melibatkan segenap elemen masyarakat Desa/Kelurahan. Hasil Murenbang des/kelurahan ini menjadi masukan dalam Musrenabang tingkat kecamatan.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Tingkat Kecamatan (Musrenbang Kecamatan) adalah. forum musyawarah tahunan para pemangku kepentingan ditingkat kecamatan untuk mendapatkan masukan kegiatan prioritas dari desa/kelurahan serta menyepakati rencana kegiatan lintas desa/kelurahan di kecamatan yang bersangkutan sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Kecamatan dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota pada tahun berikutnya.
Musrenbang Kecamatan Dilaksanakan bertujuan untuk Membahas dan menyepakati hasil-hasil Musrenbang dari tingkat desa/kelurahan yang akan menjadi kegiatan prioritas pembangunan di wilayah kecamatan yang bersangkutan, membahas dan menetapkan kegiatan prioritas pembangunan di tingkat kecamatan yang belum tercakup dalam prioritas kegiatan pembangunan desa/kelurahan, melakukan klasifikasi atas kegiatan prioritas pembangunan kecamatan sesuai dengan fungsi-fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota.
Hasil Musrenbang Tingkat Kecamatan akan menjadi masukan dalam Musrenbang pada tingkat yang lebih tinggi, yakini Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota (Musrenbangda Kabupaten/Kota), Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi sebagai daerah otonom (Musrenbang Provinsi), Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi (Musrenbang Provinsi), dan Musyawarah Perencanaan Nasional (Musrenbangnas).
Kecamatan Pondok Gede adalah salah satu kecamatan di Kota Bekasi yang telah melaksanakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang system Perencanaan Pembangunan Nasional. Kecamatan Pondok Gede sudah melaksanakan Musrenbang sejak 2004 hingga sekarang.
            Musrenbang Kecamatan 2006 di Kecamatan Pondok Gede dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2006. Peserta yang hadir adalah 147 orang. Unsur-unsur yang hadir dalam pelaksanaan Musrenbang Kecamatan Pondok Gede tahun 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Daftar Hadir Musrenbang Tahun 2006
No.
Delegasi
Jumlah
1.
Delegasi Dusun/ Lingkungan
25 orang
2.
Unsur Perangkat Desa
25 orang
3.
DPRD Kota Bekasi
6 orang
4.
Bappeda Kota Bekasi
8 orang
5.
SKPD Kota Bekasi
20 orang
6.
PKK Kecamatan
5 orang
7.
LPM Kecamatan
5 orang
8.
Unsur Kecamatan
19 orang
9.
Organisasi Kemasyarakatan
5 orang
10.
Organisasi Keagamaan
5 orang
11.
Organisasi Pemuda
9 orang
12.
Organisasi Wanita
10 orang

















Sumber: Berita Acara Musrenbang 2006 Kecamatan Pondok Gede

Dari Musrenbang Kecamatan Pondok Gede telah dicapai kesepakatan bahwa perencanaan pembangunan tahun 2006 terdiri dari :
I. Pembangunan Fisik
1. Perbaikan Jalan
2. Perbaikan (Rehab Total) Kantor Kelurahan
3. Perbaikan Saluran Air
4. Normalisasi Kali Baru (Kali Mati)
5. Pembangunan Aula, Mushola, Pemagaran Kelurahan
6. Pembangunan Mesjid
7. Perbaikan Sekolah Dasar (SD)
II. Pembangunan Non Fisik
1.      Penyuluhan dan pelatihan tentang home industri
2.      Bimbingan Remaja (Narkoba dan Sex Bebas)
3.      Peningkatan Gizi
4.      Pelatihan PKK
5.      Pemberantasan Buta Huruf AlQur’an
6.      Pelatihan UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga)
7.      Pembinaan UKM
                     III. Dana Pembangunan
Usulan Proyek : Fisik                 :176 proyek
                          Non Fisik         :  35 proyek
                          Jumlah              :211 proyek
Dana Yang Diusulkan : Fisik              :Rp 47.567.000.000,00
                                      Non Fisik      : Rp 29.750.000.000,00
                                      Jumlah           : Rp 77.317.000.000,00
                                Sumber: Berita Acara Musrenbang 2006 Kecamatan Pondok Gede

Dari daftar hadir Musrenbang Kecamatan Pondok Gede di atas dapat dilihat bahwa sektor swasta masih belum terlihat. Unsur-unsur yang hadir dalam Musrenbang Kecamatan Pondok Gede adalah unsur-unsur pemerintah Kota Bekasi, kecamatan, kelurahan, dan masyarakat. Masyarakat diwakili oleh tokoh masyarakat, PKK, ketua RT, RW, dan akademisi,ormas. Seharusnya ketiga unsur yaitu pemerintah, masyarakat, dan privat hadir dalam Musrenbang.
Ketiga unsur tersebut merupakan pihak yang berkepentingan dengan kegiatan prioritas dari desa/kelurahan untuk mengatasi permasalahan di wilayah kecamatan serta pihak-pihak yang berkaitan dengan dan atau terkena dampak hasil musyawarah. Ketiga unsur tersebut juga merupakan tiga pilar good governance. Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan daerah. Pelaku pembangunan disini adalah pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha,akademisi, LSM, organisasi politik, dan organisasi massa.
Bila kita lihat keadaan Musrenbang Kecamatan Pondok Gede sangat menarik sebab dalam pelaksanaannya belum terlihatnya peran sektor privat sebagaimana yang telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004. Musrenbang adalah forum antar pelaku dalam raangka menyususn rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah yang di dalamnya melibatkan unsur pemerintah, masyarakat, dan sektor privat.
B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah proses  perencanaan pembangunan di Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi?
C.  Tujuan Penelitian
a.       Mendeskripsikan kegiatan forum lintas pelaku dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dan Musrenbang di Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi.
b.         Untuk mengetahui atau memperoleh informasi tentang masih belum terlihatnya unsur swasta dalam pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi.
D.  Manfaat Penelitian
a.         Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam rangka mengetahui tentang pelaksanaan kegiatan forum lintas pelaku dalam Musrenbang yang berkaitan dengan studi perencanaan pembangunan dalam konteks good governance.
b.         Manfaat Terapan
Dapat menjadi masukan bagi agenda kebijakan perwujudan forum lintas pelaku dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dan perencanaan pembangunqn melalui Musrenbang.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.  Perencanaan Pembangunan
Perencanaan merupakan tahap awal yang harus dilakukan sebelum suatu kegiatan dilaksanakan. Perencanaan adalah upaya untuk memilih dan menghubungkan fakta-fakta dan membuat serat menggunakan asumsi-asumsi mengenal ,masa yang akan dating dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang hasil yang diinginkan (George R.Terry dalam Riyadi,2005:2).Sedangkan menurut Waterson (dalam Conyers, 1982:1) menyatakan “planning is… in essence, an organized, conscious and continual attempt to select the best available alternatives to achieve specific goals”. Perencanaan dalam pokoknya adalah pengorganisasian, usaha yang berkelanjutan dan pemilihan keputusan yang terbaik dari alternatif-alternatif yang ada untuk mencapai tujuan yang tepat. Dengan melaksanakan perencanaan juga dapat diprediksi hambatan-hambatan yang akan terjadi sehingga dapat diambil tindakan dengan cepat.
Conyers (1982:20)mendefinisikan “perencanaan” sebagai ”suatu proses yang bersinambungan”, yang mencakup “keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai aiternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang.“ Definisi tersebut mengedepankan 4 unsur dasar perencanaan, yakni:
1. Pemilihan. ”Merencanakan berarti memilih,” Artinya, perencanaan merupakan proses memilih di antara berbagai kegiatan yang diinginkan, karena tidak semua yang diinginkan itu dapat dilakukan dan dicapai dalam waktu yang bersamaan. Hal itu menyiratkan bahwa hubungan antara perencanaan dan proses pengambilan keputusan sangat erat. Oleh karena itu, banyak buku mengenai perencanaan membahas pendekatan-pendekatan alternatif dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan urutan tindakan di dalam proses pengambilan keputusan.
2. Sumber daya. Perencanaan merupakan alat pengalokasian sumber daya. Penggunaan istilah "sumber daya" di sini menunjukkan segala sesuatu yang dianggap berguna dalam pencapaian suatu tujuan tertentu. Sumber daya di sini mencakup sumber daya manusia; sumber daya alam (tanah, air, hasil tambang, dan sebagainya); sumber daya modal dan keuangan. Perencanaan mencakup proses pengambilan keputusan tentang bagaimana sumber daya yang tersedia itu digunakan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas sumber daya tersebut sangat berpengaruh dalam proses memilih di antara berbagai pilihan tindakan yang ada.
3. Tujuan. Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Konsep perencanaan sebagai alat pencapaian tujuan muncul berkenaan dengan sifat dan proses penetapan tujuan. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh seorang perencana adalah bahwa tujuan-tujuan mereka kurang dapat dirumuskan secara tepat. Sering kali tujuan-tujuan tersebut didefinisikan secara kurang tegas, karena kadang kala tujuan-tujuan tersebut ditetapkan oleh pihak lain.
4. Waktu. Perencanaan mengacu ke masa depan. Salah satu unsur penting dalam perencanaan adalah unsur waktu. Tujuan-tujuan perencanaan dirancang untuk dicapai pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, perencanaan berkaitan dengan masa depan.
Sedangkan definisi pembangunan secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan kearah yang lebih baik. Untuk melakukan pembangunan tidak dapat terlepas dari perencanaan, sebelum melakukan pembangunan harus dilakukan perencanaan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan memiliki 4 tahapan yaitu :
(1) Penyusunan rencana;
Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur.
(2) Penetapan rencana;
Langkah kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan . Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Sedangkan langkah selanjutnya adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan Berikutnya adalah penetapan rencana menjadi produk hukum sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya
(3) Pengendalian pelaksanaan rencana;
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut oleh pimpinan.
(4) Evaluasi pelaksanaan rencana.
Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact).
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan pembangunan yang utuh. 
Perencanaan pembangunan di Kecamatan Pondok Gede dilakukan melalui suatu musyawarah yang disebut Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang sendiri dilakukan secara bertahap dari tingkat kelurahan, dimana hasil dari Musrenbang tingkat kelurahan menjadi bahan masukan dalam Musrenbang tingkat kecamatan. Hasil dari Musrenbang kelurahan digunakan juga sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Kecamatan dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota pada tahun berikutnya. Hasil Musrenbang akan menjadi bahan masukan bagi Musrenbang tingkatan yang lebih tinggi.
Dalam suatu perencanaan pembangunan akan tepat sasaran apabila seluruh unsur yang berhubungan dengan pembangunan diikutsertakan dalam proses perencanaan pembangunan. Partisipasi dari seluruh unsur dalam perencanaan pembanguanan  terutama di daerah sangatlah penting dan sangat mungkin dilakukan. Menurut Diana Conyers (1982:103) hal itu sangat memungkinkan dengan alasan :
a)      Mengumpulkan informasi tentang kondisi local, kebutuhan  dan sikap tanpa  disertai pengembangan program dan proyek maka hal tersebut akan gagal.
b)      Masyarakat lebih menyukai untuk berkomitmen  pada pengembangan proyek atau program jika mereka membutuhkan perencanaan dan persiapan, karena mereka lebih menyukai untuk mengidentifikasi hal tersebut dan  melihat dari proyeknya.
c)      Untuk memberikan pertisipasi popular yaitu kebanyakan negara beranggapan bahwa partisipasi popular sebagai suatu dasar demokratis dimana orang harus dilibatkan dalam pengembangan tersebut.

Sementara bila dilihat melalui pendekatan good governance suatu perencanaan pembangunan dapat dinilai dengan menggunakan prinsip-prinsip dari good governance. Menurut UNDP  prinsip-prinsip dari good governance adalah :
1.      Partisipasi
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.   Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi
3.      Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau manusia.
4.      Peduli Pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5.      Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6.      Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.      Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8.      Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9.      Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

Good governance sebagai menejemen pembangunan atau administrasi pembangunan, dimana pemerintah bukanlah satu-satunya faktor untuk membangun bangsa tetapi masyarakat dan sektor swasta juga mempunyai peranan penting dalam pembangunan yaitu memberikan masukan dalam proses pembangunan.
Untuk menciptakan good governance (pemerintahan yang baik) dapat dilakukan dengan melaksanakan salah satu turunan operasionalnya yaitu multi-stakeholder processes (Fahmi dan Zakaria,2005).
Kegiatan multi-stakeholder processes dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut maka dalam perencanaan pembangunan terjadi perubahan yang sebelum undang-undang tersebut ditetapkan, perencanaan pembangungan bersifat top down dimana banyak mengabaikan kepentingan local sehingga banyak aspirasi masyarakat diabaikan. Sehingga masyarakat tidak dapat menikmati hasil pembangunan. Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 ini perencanaan pembangunan bersifat bottom up yang menekankan partisipasi dari banyak pihak. Sehingga pembangunan dapat dirasakan oleh banyak pihak seperti masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah
B. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan meripakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplimentasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Suatu kebijakan hanya akan menjadi catatan elit saja jika tidak diimplementasikan. Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah sebuah cara agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hokum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan (Lester dan Stewart dalam Winarno, 2002:101-102). Suatu kebijakan yang telah dirumuskan seberapapun baiknya tetap mengadung resiko kegagalan.
Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya (dalam Winarno, 2002:102). Daniel. A. Mazmanian dan Paul.A. Sabatier (dalam Wahab, 1990:50) menyatakan bahwa fokus perhatian implementasi kebijakan yaitu memahami kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah kebijakan ditetapkan yang mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat yang nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab,1997:79-81) bahwa kebanyakan implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi, bahwa jalan yang menghubungkan implementasi dengan keberhasilan program (prestasi kerja) dipisahkan oleh sejumlah variabel yang saling berkaitan, variabel-variabel tersebut adalah ; (1). Ukuran dan tujuan kebijaksanaan, (2). Sumber-sumber kebijaksanaan, (3). Ciri-ciri atau sifat badan pelaksana, (4). Komunikasi anatar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksana, (5). Sikap para pelaksana dan (6). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Dari pendapat-pendapat mengenal implementasi di atas, maka dapat diartikan bahwa implementasi adalah suatu rangkaian kegiatan penjabaran keputusan kebijaksanaan yang dilakukan oleh beberapa elemen baik pihak pemerintah maupun masyarakat dalam rangka mencapai tujuan atau sasaran. Menurut George Edward III ada empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan public (1980:10-11), yaitu :
1.      Communication
For implementation to be effective, those whose responsibility is to implement a decision must know what they are supposed do. Orders to implement policies must be transmitted to the appropriate personnel, and they must be clear, accurate, and consistent.
2.      Resources
No matter how clear and consistent implementation orders are and no matter how accurately they are transmitted, if the personnel responsible for carrying out policies lack the resources to do an effective job, implementation will not be effective.
3.      Disposition
The disposition or attitudes of implementers is the third crictical factor in our approach to the study of public poicy implementation, if implementation is to proceed effectively, not only must implementers know what to do and have the capability to do it, but they must also desire to carry out a policy.
4.      Bureucratic Structure
Even if sufficient resources to implement a policy exist and implementor know what to do and what to do it, implementation may still be thwarted because of deficiencies in bereucratic structure.

Keempat faktor tersebut bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain. Dalam penerapan suatu keputusan harus mengetahui secara pasti apa yang harus dilakukan, untuk itu suatu perintah harus disalurkan pada orang yang tepat, jelas, dan konsisten. Dari berbagai pendapat yang dikemukan tentang variabel-variabel yang berpebgaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan, kesemuan variabel tersebut salaing mendukung dan tidak dapat berdiri sendiri. Apabila digambarkan, maka faktor penentu 

                                
C.  Evaluasi Inplementasi Kebijakan

Bila kebijakan dipandang sebagai suatu pola kegiatan yang berurutan maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun beberapa ahli ada yang melihat jika evaluasi buka merupakan tahap akhir dari proses kebijakan publik. Kebijakan publik dijalankan dengan maksud tertentu, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan public meraih hasil yang diinginkan.
Evaluasi kebijakan bermaksud untuk mengetahui 4 aspek, yaitu: proses pembuatan kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan, efektivitas dampak kebijakan. Evaluasi terhadap aspek proses implementasi tersebut disebut dengan evaluasi implementasi. Menurut Subarsono (2005: 123), evaluasi kebijakan dilakukan dengan alasan:
1.      Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuan.
2.      Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. Dengan melihat tingkat efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal.
3.      Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kinerja suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat dari kebijakan dan program pemerintah.
4.      Menunjukkan pada stakeholders manfaat suatu kebijakan. Apabila tidak dilakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan, para stakeholders, terutama kelompok sasaran tidak mengetahui secara pasti manfaat dari sebuah kebijakan atau program.
5.      Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya, evaluasi kebijakan bermanfaat untuk berikan masukan bagi proses pengambilan kebijakan yang akan dating agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sebaliknya, dari hasil evaluasi diharapkan dapat ditetapkan kebijakan yang lebih baik.
 Melalui kegiatan evaluasi, menurut Weiss (dalam Samodra Wibawa,1994:12) dapat diambil keputusan-keputusan sebagai berikut :
a.       Meneruskan atau mengakhiri program,
b.      Memperbaiki praktek dan prosedur administrasi,
c.       Menambah dan mengurangi strategi dan teknik implementasi,
d.      Melembagakan program ke tempat lain,
e.       Mengalokasikan sumber daya ke program lain,
f.       Menerima atau menolak pendekatan/teori yang dipakai sebagai asumsi dari program itu.


Pemahaman terhadap konsep implementasi kebijakan pada dasarnya dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Menurut Ripley (1985:134), bahwa untuk melihat implementasi suatu program dapat dikaji dari dua pendekatan. Pertama, pendekatan dari “aspek kepatuhan” (compliance) yaitu suatu pendekatan implementasi bahwa suatu implementasi akan berhasil bila apabila para pelaksana mematuhi petunjuk yang ada dalam desain program.Kedua, pendekatan dari segi “apa yang terjadi” (what happening). Suatu pendekatan implementasi yag memahami implementasi dari sudut hal apa saja yang berlangsung di dalam program dijelaskan dalam pelaksanaan, sehingga pendekatan ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa implementasi melibatkan atau dipengaruhi oleh sejumlah faktor tertentu.
Dalam penelitian ini, peneliti merujuk pada dua perspektif yang diungkapkan oleh Ripley tersebut baik compliance maupun what happening. Penggunaan kedua perspektif ini adalah untuk mengupayakan komprehensifitas kajian fokus penelitian ini.
                                 

1 komentar:

  1. kak, apa boleh saya minta file utuh dari skripsi ini? mohon respon secepatnya

    BalasHapus